Mohon tunggu...
Made Ayu Kirana
Made Ayu Kirana Mohon Tunggu... Mahasiswa

Kelompok Mahasiswa Psikologi yang terdiri dari 4 anggota : Ida Ayu Dea Saraswati, Made Ayu Kirana Astra, Annisa Fithri dan Ni Putu Indri Hartanevia Prihadiyanti

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Prasangka, Stereotype, dan Diskriminasi Perempuan dalam Pekerjaan

13 Juli 2021   22:02 Diperbarui: 13 Juli 2021   22:15 1685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Adanya kebebasan atau hak perempuan dalam pekerjaan juga tercantum jelas dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Salah satu pasal di dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja menyebutkan bahwasanya perempuan yang sedang hamil dan mendapatkan surat keterangan dokter untuk tidak bekerja pada shift malam maka memiliki hak untuk tidak bekerja. Selain itu, pada pasal lainnya juga disebutkan bahwa perempuan yang merasa sakit ketika haid hari pertama maka tidak diwajibkan untuk bekerja (Jaya, 2020).  Dengan demikian, setiap perempuan memiliki hak – nya dalam lingkungan pekerjaan sehingga tidak sepantasnya perempuan diperlakukan secara tidak adil. 

Melalui penjelasan di atas maka kita dapat menjumpai bahwasanya diskriminasi seringkali terjadi di tempat kerja. Terciptanya diskriminasi juga dapat berawal dari adanya prasangka. Prasangka sendiri pertama kali dikemukakan oleh Gordon Allport, seorang psikolog yang mengkaji persoalan - persoalan sosial. Ia mengatakan bahwa prasangka berasal dari kata praejuducium yang berarti pernyataan atau perkataan yang belum tentu benar karena hanya berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau suatu kelompok. Adapun sumber sosial dari prasangka yaitu (Myers, 2013) :

  • Unequal Status (Status sosial yang tidak setara)
  • Menunjukkan bahwa adanya perbedaan status dapat menimbulkan prasangka. Selain itu, adanya orientasi dari status sosial yang dominan juga dapat meningkatkan motivasi suatu kelompok dalam mendominasi kelompok sosial lainnya.
  • Socialization (Nilai – nilai dalam diri)
  • Menunjukkan bahwa adanya nilai dalam diri, pengaruh keluarga, dan budaya dapat menimbulkan prasangka.
  • Kepribadian
  • Kepribadian otoritarian akan cenderung memiliki prasangka dan stereotyping.
  • Agama
  • Agama dapat menimbulkan prasangka yangmana secara umum, pemeluk suatu agama akan bersikap curiga dan berprasangka kepada pemeluk agama lainnya.
  • Institutional Supports (Institusi Sosial)
  • Beberapa institusi sosial seperti sekolah, pemerintah, dan suatu media dapat menimbulkan prasangka melalui adanya kebijakan yang diterapkan.

Selanjutnya, selain sumber sosial ada pula sumber kognitif dari prasangka yaitu (Myers, 2013) :

  • Kategorisasi (Categorization)
  • Kategorisasi merujuk kepada menggabungkan seseorang ke dalam klasifikasi tertentu dengan tujuan mempermudah hidup sehingga kita dapat mengetahui informasi yang berguna dengan usaha yang minimal. Contoh kategorisasi yaitu etnis, jenis kelamin, ras, dll.
  • Kekhasan Seseorang (Distinctiveness)
  • Adanya kekhasan seseorang membuat kita menyadari keberadaannya yang terlihat menonjol sehingga otak kita akan dengan mudah melakukan stereotyping.
  • Adanya atribusi
  • Apabila perhatian kita berfokus kepada seseorang maka akan membuat kita mengatribusikan perilaku orang lain dengan sifat bawaannya tanpa memikirkan adanya faktor situsional.

Dengan demikian, sumber sosial maupun kognitif dapat menimbulkan prasangka dalam diri seseorang. Prasangka dalam diri seseorang dapat berupa emosi, sikap ataupun perilaku negatif seperti sikap merendahkan dan tindakan diskriminatif. Salah satu contoh bentuk prasangka negatif yakni seksisme (sexime). Seksisme merupakan prasangka berdasarkan gender yang kerap kali menimpa kaum perempuan. Adanya prasangka ini menjadikan perempuan digambarkan sebagai seorang yang butuh perlindungan, tidak memiliki ambisi yang kuat dan fisik yang lemah. Munculnya prasangka negatif ini apabila terus dibiarkan akan menimbulkan stereotype. Menurut Myers (2013), stereotype adalah suatu bentuk keyakinan yang dimiliki seseorang atau kelompok tentang atribut personal yang ada pada kelompok tertentu. Adanya stereotype yang beranggapan bahwa “Perempuan itu lemah fisiknya dan tidak kompeten” menjadikan perempuan memiliki kesempatan kerja yang rendah dibandingkan laki-laki.

Terciptanya stereotype terhadap perbedaan jenis kelamin selalu merugikan. Stereotype gender sering ditemukan pada profesi yang memiliki tugas berat dan berbahaya seperti pemadam kebakaran dan tim penyelamat. Dalam hal ini, masyarakat beranggapan bahwa laki - laki yang memiliki karakteristik maskulin akan lebih mampu menyelesaikan tugas - tugas tersebut dibandingkan perempuan. Oleh karena itu, adanya ancaman stereotype ini akan sangat berpengaruh dalam dunia kerja yangmana akan menyebabkan seorang karyawan memiliki kinerja yang rendah, produktivitas yang menurun, motivasi yang menurun, dan absenteeism yang tinggi (Gregory, R.J., 2015).

Lalu, apa saja sih usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi prasangka negatif? Pertama, ialah usaha preventif. Usaha ini berupa tindakan yang dilakukan agar seseorang atau kelompok tertentu tidak menjadi sasaran prasangka, contohnya seperti menunjukkan kemampuan pekerja perempuan yang dapat berprestasi dan membanggakan. Sebagai contoh ialah Ibu Sri Mulyani, bendahara negara yang kerap menorehkan prestasi atas kinerjanya. Pernyataan ini dibuktikan dari berita yang berjudul Langganan Jadi Menteri Keuangan Terbaik, Ini Deretan Prestasi Sri Mulyani. Berita tersebut mendeskripsikan beberapa prestasi yang ditoreh oleh Ibu Sri Mulyani baik di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti Ibu Sri Mulyani yang dinobatkan sebagai Menteri Keuangan Terbaik di Asia Pasifik versi majalah keuangan asal Hong Kong, Finance Asia. Penghargaan ini sebelumnya juga telah diterima oleh Ibu Sri Mulyani secara berturut-turut sejak 2017. Tak hanya itu, pada tahun 2008 Ibu Sri Mulyani juga mendapatkan penghargaan menjadi perempuan paling berpengaruh pada majalah forbes karena memberikan banyak terobosan dalam kementerian yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta birokrasi yang rumit.

Usaha selanjutnya yang dapat dilakukan untuk mengurangi prasangka negatif ialah usaha kuratif. Usaha kuratif merupakan usaha untuk menangani seseorang yang menjadi korban prasangka dengan cara berusaha mengklarifikasi informasi yang salah menjadi benar. Contohnya yakni mengklarifikasi pemikiran mengenai perempuan dalam bekerja lebih banyak berbicara daripada aksinya. Hal ini tidak dapat dipastikan karena belum tentu sesuai dengan fakta bagaimana seorang perempuan ketika bekerja. Maka dengan melihat kedua usaha tersebut, adanya prasangka dapat berdampak menyudutkan hingga merugikan seseorang. Adapun kerugian yang dialami seseorang melalui prasangka dapat menimbulkan praktik diskriminatif.

Bentuk diskriminatif ada dua yaitu menolak untuk menolong dan tokenisme. Menolak untuk menolong dalam dunia kerja biasanya ditunjukkan saat karyawan laki-laki merasa karyawan perempuan bukan dari kelompok jenis kelamin yang sama walaupun kedudukannya sama - sama karyawan. Sedangkan, tokenisme merupakan perilaku positif pada pihak minoritas yang dilakukan oleh pihak mayoritas untuk pembelaan atau pembenaran agar bisa terlihat rasial dan menunjukkan kesetaraan seksual dalam tenaga kerja. Tokenisme dapat memunculkan perasaan dan pemikiran bias yang mungkin bertentangan dengan cara orang melihat ras, budaya etnis dan jenis kelamin. Dalam penelitiannya, Profesor Kanter menyatakan bahwa masalah tokenisme yang sering muncul dan dialami oleh perempuan dalam pekerjaannya biasanya didominasi oleh laki-laki. Sebab proporsi laki-laki dan perempuan di tempat kerja yang tidak seimbang. Dalam mengatasi diskriminasi yang terjadi pada pekerja perempuan, maka penulis menyarankan dua solusi yang dapat diterapkan oleh diri sendiri dan perusahaan yakni setiap orang menanamkan rasa toleransi dalam merajut sebuah keragaman terutama keragaman gender. Lalu, perusahaan juga memperlakukan karyawan perempuan sebagai seorang individu sehingga. tidak menyoroti perbedaan dalam kelompok. Adapun salah satu perusahaan di Indonesia yang sudah menerapkan beberapa program dalam mengatasi praktik diskriminatif ialah perusahaan Nestlé.

Berdasarkan web resmi Nestlé  Indonesia, Nestlé mengatakan bahwa kesetaraan gender adalah prioritas perusahaan sejak tahun 2008. Mereka meningkatkan jumlah karyawan perempuan tanpa diskriminasi struktur di organisasinya. Adapun program yang sudah dijalankan oleh Nestlé, yaitu meningkatkan jumlah perempuan di posisi manajerial yang mana pada tahun 2018, sebesar 43% dari peran ini diduduki oleh perempuan. Selain itu, Nestlé juga memberikan peluang bagi karyawan perempuan untuk menduduki posisi eksekutif senior sekitar 30% pada tahun 2022 nanti. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan Nestlé memperlakukan karyawan perempuan sama seperti karyawan pada umumnya dengan memberikan kesempatan yang sama dan menghilangkan praktik diskriminatif gender.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat diketahui bahwa diskriminasi akan berkaitan dengan prasangka yangmana prasangka berawal dari adanya pemikiran seseorang. Jika pemikiran itu menyudutkan satu pihak dan cenderung merugikan maka kedepannya dapat menimbulkan praktik diskriminatif. Salah satu contoh riil bentuk prasangka yang diperlihatkan masyarakat kepada perempuan dalam pekerjaan ialah anggapan bahwa perempuan tidak kompeten dalam bekerja. Prasangka tidak timbul begitu saja secara spontan, namun ada sumber sosial dari timbulnya prasangka tersebut. Pertama, unequal status atau status sosial yang tidak setara. Kedua, faktor kepribadian masing-masing individu. Ketiga, faktor agama. Keempat, institusi sosial. Kelima, socialization (nilai-nilai dalam diri). Selain sumber sosial ada pula tiga sumber kognitif dari terbentuknya prasangka, yakni kategorisasi, kekhasan seseorang (distinctiveness) dan adanya atribusi.

Selanjutnya, prasangka pada dasarnya ialah hasil pemikiran seseorang, maka tidak menutup kemungkinan prasangka yang terbentuk adalah prasangka negatif. Munculnya prasangka negatif apabila terus dibiarkan tanpa mencari kebenarannya akan melahirkan sebuah stereotype. Contoh stereotype negatif yang berkaitan dengan pekerja perempuan yakni adanya anggapan bahwa perempuan memiliki fisik yang lemah sehingga perempuan cenderung memiliki kesempatan kerja yang rendah dibandingkan laki-laki. Stereotype ini tentu dapat menyudutkan pekerja perempuan yang dianggap memiliki kinerja yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Dengan demikian, kepercayaan terhadap stereotype ini berpeluang menjadi praktik diskriminasi yang merugikan pekerja perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun