Hai Kompasianer,
Seni menulis ya memang sudah menjadi kerjaan sih tapi ya penuh pertimbangan juga dengan banyak pertimbangan. Pernah tercatat sebagai kompasianer sepuluh tahun lalu terus pasif. Pasif bukan tak berarti menulis sebabnya memang menulis jadi pekerjaan sehari-hari sebagai Kepala Media Centre di suatu perusahaan dan tak tercatat dalam satu blog apapun dan kini masuk kembali dalam keluarga besar Kompasiana.
Mungkin saya tak bercerita sejarah mengapa kita harus menulis namun kali ini semuanya 'pure' ungkapan dan rasa pribadi atas menjelangnya kenaikan akun saya ke tahap Taruna. Hanya kutipan Pramoedya Ananta Toer yang saya kutip sebagai penyemangat untuk tetap menulis. Â
Bergabungnya kembali ke Kompasiana pada tahun 2019 bulan November mungkin karena ada sebab. Sebabnya apa? Ya mungkin kita tetap membutuhkan sarana berinteraksi dan eksistensi dengan ukuran yang akurat.
Ada hal yang sangat menyeruak dalam pemikiran saya pribadi yaitu di mana pengembangan kata dan literasi diimbangi pengayaan penyerapan segala bidang dan sektor tulisan menjadi penting.Â
Ada pertarungan hati bahwa di mana sesungguhnya dalam hati dalam mengamati tulisan prestisius dalam hal viewers (pengunjung atau pembaca) perlukah kita mengambil gaya penulisan penulis tersebut? Tentu saja perlu, karena disebabkan Kompasiana terdiri dari berbagai ragam pembaca.
Ada hal lain juga yang terpikir tak usah mengekor atau membuntuti. Sebab penulis biasanya memiliki ciri khas tersendiri dalam tumpahkan pikirannya. Jadi satu hal penting buat saya ya ikuti kata hati sekalipun trend di depan mata dan kalau bisa ambil tema menarik lainnya.
"Menulislah sedari SD, apa pun yang ditulis sedari SD pasti jadi." -Â Pramoedya Ananta Toer
Nah pahamkan apa yang dimaksud Pak Pram sekarang. Menulislah dari kita mau menulis dan semuanya pasti jadi tulisan. Tulisan tak mengekor apalagi plagiat heheheheh bahkan dengan kondisi terkini dengan sangat mudah terdeteksi kemurnian tulisan melalui teknologi.
Jawara menulis di Kompasiana sangatlah banyak dan terhampar tinggal memilih figur dan khasnya para penulis yang mau kamu ambil. Sekalipun secara empiris saya sering lakukan 'crisis management' dan ungkapkan apa yang mesti saya ucapkan dalam secarik kertas saya tetap terus belajar dan belajar dari para pendahulu dan sang maestro tulisan.
Kompasiana banyak melahirkan yang sudah dilahirkan untuk hadir diantara kita agar kita belajar dan menyikapi secara arif dan bijaksana bagaimana berharganya untaian kata yang bisa dinikmati publik.