Mohon tunggu...
Rizky Purwantoro S
Rizky Purwantoro S Mohon Tunggu... Lainnya - pegawai biasa

Membaca, mengkhayal dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebijakan Belanda Bermuka Dua pada Masa Lalu

10 Desember 2022   07:54 Diperbarui: 10 Desember 2022   07:55 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar dari boombastis.com

Negeri Belanda waktu baru merdeka adalah negara yang toleran terhadap perbedaan agama, di saat negara Eropa lainnya masih suka menindas penganut agama yang berbeda dari rezim penguasanya. Dan toleransi itulah yang menjadi faktor penyebab Belanda sempat menjadi negara adidaya, karena menarik masuknya banyak imigran Eropa non-Belanda untuk tinggal di sana, di mana mereka bukanlah orang buangan dan miskin, melainkan dari kelas menengah yang memiliki intelek, sehingga dapat berkontribusi terhadap kemajuan negeri barunya.

Sayangnya penerapan toleransi dan saling menghormati sesama warga itu tidak diberlakukan juga pada rakyat koloninya Belanda, termasuk di Hindia Timur atau Nusantara. Belanda seakan-akan bermuka dua, toleran di Eropa, tapi menindas di tanah jajahannya.

Ada yang bilang ini karena Belanda hanya mementingkan fulus saja, selama masih dapat mendatangkan keuntungan, itulah yang lebih utama daripada nilai-nilai toleransi. Bagi mereka penduduk jajahan hanyalah sapi perahan saja untuk dieksploitasi tenaganya agar menghasilkan laba.

Penerapan sistem bermuka dua itu, terjadi sejak awal Belanda mengkoloni Batavia hingga menjelang kejatuhan mereka di tangan Jepang abad 20. Banyak kesaksian dari tokoh-tokoh pergerakan negeri kita, yang merasakan bagaimana berbedanya perlakuan yang mereka terima saat di Belanda sendiri dengan di Hindia Belanda.

Contohnya seperti Sutan Sjahrir yang lebih menikmati bebasnya kehidupan di negeri Belanda, dan juga beberapa tokoh nasional yang lebih memilih dibuang ke Belanda daripada hidup di tanah kelahirannya sendiri.

Di sana, mereka dapat bebas mengekspresikan pendapatnya tanpa kawatir diciduk aparat, sebagaimana yang dapat terjadi di Hindia Belanda. Dan berbekal wawasan dan pengetahuan dari sanalah, yang akhirnya dapat menginspirasi para anak muda ini untuk turut serta merancang kelahiran negara baru bernama Indonesia.

Jadi apa yang dilakukan Belanda dengan bermuka dua itu, mungkin menguntungkan dalam jangka pendek karena dapat meraup hasil bumi sebanyak-banyaknya dari tanah jajahan mereka, akan tetap jangka panjangnya merugikan karena terus menimbulkan ketidaksukaan dan dendam membara dari penduduk koloninya, sehingga mereka selalu menunggu setiap kesempatan untuk dapat memberontak kepada penjajahnya.

Dan kesempatan itu akhirnya tiba setelah Jepang menyerah, Indonesia yang baru merdeka ini tentu saja menolak segala tawaran Belanda untuk membentuk Uni bersama Belanda-Indonesia, kecurigaan rakyat Indonesia sudah terpatri dalam terhadap gerak gerik mantan penjajah mereka, Belanda.

Mungkin jika Belanda tidak bermuka dua, sejarah akan berbeda hasilnya, siapa tahu karena merasa dihargai, maka rakyat jajahannya akan dengan senang hati dan sukarela untuk tetap bergabung dalam naungan pemerintah Hindia Belanda lebih lama. Meskipun tidak menjamin juga sih, tapi yah siapa yang tahu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun