Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penulis Itu Boleh Salah, Tapi Tak Boleh Bohong

12 Februari 2019   20:03 Diperbarui: 12 Februari 2019   20:35 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada salah satu prinsip dasar dalam metode penelitian, "Peneliti itu boleh salah, tapi tidak boleh bohong". Kata-kata itu pula yang masing terngiang-ngiang di telinga.

Kata-kata itu dipesankan oleh seorang dosen senior bahkan sudah guru besar dalam suatu kesempatan. Saya selalu mengingatnya. Meski dulu ketika masih mahasiswa, saya tak begitu memahaminya, tetapi ingatan tentang ungkapan itu terus terekam. Baru ketika kemudian  saya mulai membaca  berbagai literatur tentang metode penelitian--entah itu metode penelitian ilmu sosial, sejarah, filologi---dan beberapa kali melakukan penelitian,  baru  kemudian saya bisa memahaminya.

Ya seorang peneliti, betapapun dia lama menggali data, terjun ke lapangan untuk melakukan pengamatan, melakukan wawancara dengan berbagai pihak (untuk penelitian Sosial)bisa saja dia salah dalam mengintrepretasikan atau bahkan dalam mengambil kesimpulan. Kesalahan itu bisa terjadi karena beberapa hal, misalnya yang bersangkutan belum menemukan data yang valid tentang objek atau subjek yang diteliti. Kurang ajeg atau kurang lamanya pengamatan. Atau datanya sudah ada tapi belum terkonfirmasi dengan baik.

Sumbernya tidak otentik atau mungkin sekunder. Sampelnya tidak representatif (untuk penelitian Kuantitatif. Dan lain sebagainya.Tapi bagaimanapun  yang paling penting bagi peneliti adalah dia harus menampilkan laporan atau kesimpulan apa adanya sesuai data yang ada. Tanpa dibuat-buat apalagi direka-reka. Meskipun dalam penelitian boleh ada intrepretasi atau bahkan analisis tapi itu tidak boleh jauh-jauh dari data yang ada, apalagi bertentangan. Interpretasi dan analisis pun tetap harus didukung oleh data.

Dalam penelitian sosial (etnografis) misalnya ada yang namanya perspektif emik. Atau perspektif tineliti, bukan peneliti. Artinya jika kita memotret suatu budaya dan dunia kelompok masyarakat tertentu, harus kita gali berdasarkan dari perspektif bagaimana mereka memahami dunianya. Betapapun sederhana atau mungkin primitifnya suatu kelompok masyarakat harus kita pahami mereka adalah mahluk yang memiliki kesadaran. Kesadaran akan dirinya dan dunianya. Prinsip ini lahir dari paradigma fenomenologis yang menyatakan bahwa dalam memahami dunia suatu kelompok masyarakat, mereka harus dipahami sebagai mahluk yang memiliki kesadaran.

Prinsip ini saya kira juga berlaku untuk ilmu-ilmu lain seperti sejarah misalnya. Sejarah meskipun ia adalah hasil rekontruksi masa lalu. Tapi itu harus didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang ada. Itulah kenapa sejarah dikategorikan sebagai ilmu empiris. Sejarah bukan sekedar cerita, bukan pula sekedar rentetan peristiwa. Seorang sejarawan misalnya sebelum ia sampai pada kesimpulan A atau B ia harus mengumpulkan berbagai bukti (fisik) atau jejak historis terlebih dahulu.

Inilah yang disebut metode heuristik. Selanjutnya setelah berbagai data/bukti atau fakta terkumpulkan ia harus melakukan kritik sumber. Otentikkah bukti-bukti tersebut? Apa yang bisa  mendukung atau mengkonfirmasi data tersebut? Ada tidak bukti lain yang melemahkan dan lain sebagainya? Baru kemudian setelah melakukan kritik sumber, seorang sejarawan baru boleh melakukan interpretasi dan merekontruksi peristiwa sejarah. Bagaiamana sebetulnya sejarahnya, apa pola-polanya dan lain sebagainya.

 Prinsip-prinsip bagaimana menampilkan data apa danya, bagaimana mengkonfirmasi sebuah data seperti di atas mestinya juga bisa diterapkan oleh seorang penulis, seorang jurnalis atau bahkan seorang blogger. Karena merekalah yang bertugas menyampaikan "kebenaran". Bukankah di dunia jurnalistik tugas seorang wartawan hanyalah menyampaikan berita/peristiwa secara apa adanya. Seorang jurnalis itu ibarat cermin. Cermin itu hanya menampilkan kembali  gambar yang ada. Ia hanya memantulkan kembali.  Penulis (kecuali sastrawan, karena sastrawan justru dianjurkan untuk berimajinasi se"liar" mungkin) mestinya juga demikian.

Akhir tahun lalu dunia jurnalisme di Jerman digegerkan oleh sebuah kasus yang menimpa seorang jurnalis di majalah Der Spiegel, salah satu majalah terkemuka di sana. Majalah yang disebut-sebut sangat ketat dan berlapis-lapis seleksi editorialnya itu harus kecolongan oleh ulah seorang jurnalisnya yang karirnya justru paling bersinar, Claas Relotius.

Relotius yang sudah beberapa kali memperoleh penghargaan bergengsi di Jerman itu belakangan ketahuan merekayasa beberapa artikelnya, di antaranya tentang tahanan Guantanamo, tentang penculikan anak-anak oleh ISIS dan tentang seorang perempuan yang menyaksikan hukuman mati di AS. Meski Ia kemudian dipecat oleh Der Spiegel tetapi kasus dia telah mencederai reputasi sebuah media yang telah dibangun selama berpuluh-puluh tahun. Ketika ditanya alasannya kenapa membuat kebohongan ia mengatakan, " Semua bukan tentang hal besar yang akan terjadi. Tetapi tentang ketakutan akan kegagalan".

Kasus Relotius di atas bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita, bagaimana seorang jurnalis demi mengejar ambisinya untuk tidak gagal dia harus membuat kebohongan. Padahal seleksi editorial media-media di Jerman disebut-sebut sangat ketat. Itu masih saja bisa kecolongan, oleh jurnalis yang justru berprestasi lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun