Mohon tunggu...
Awan Tenggara
Awan Tenggara Mohon Tunggu... profesional -

"Jika aku berguru, aku tidak meminta guru yang dapat mengajariku punya kemampuan terbang dan menghilang. Cukuplah bagiku jika sang Guru mau membimbingku untuk belajar menyingkirkan batu di jalan, rela pada keberuntungan orang lain, sabar atas kemalangan diri sendiri, senang melihat tetangganya memiliki barang baru, mencintai anak-anak, menyayangi binatang. Dari guruku, aku tidak mengharapkan pelajaran apapun selain pelajaran untuk merendahkan diri dan merendahkan hati. Jika ada seseorang yang memiliki kualitas kerendahan hati dalam arti yang sebenarnya seperti itu, kepadanyalah aku akan datang berguru."--Prie G.S

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Butterfly Code [Lesson #2nd: Something Behind Your Foggy Eyes]

26 Juni 2013   13:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:24 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13720894281550502508

Anak aneh itu, ia bertingkah tak seperti biasanya. Yang biasanya tiap pagi sebelum berangkat ke sekolah ia memberi nekhtar buatan untuk burung-burung kolibri gunung, kini mengganti jadwalnya dengan menatap diam bunga-bunga yang berkembang di pinggir pagar; alpinia, anyelir, keningkir, hingga rumpun semanggi yang meriap di bawah tumpukan batu bata, semua dapat giliran menatap kosong mata Linggar. Sehingga, kini akulah yang menggantikan tugasnya untuk memberi minum burung-burung kolibri yang sudah mengantri dan berjingkat-jingkat di dahan saga sedari pukul lima.

Ia bilang bisa menemukan puisi di sana—di bunga-bunga yang diam itu. Linggar sepertinya terobsesi pada orang yang kemarin kami temui di danau, pemuda dari kota yang bernama Yoenda Faizik Suhendar. Kami tahu nama lengkap pemuda yang katanya tinggal di Semarang kota itu dari buku kumpulan puisi miliknya yang diberikan kepada Linggar. Buku itu sepanjang malam tak pernah lepas darinya, sudah melekat erat dengan dia seperti celana dalam yang ia kenakan, dan cuma bisa dilepaskan hanya pada ketika dia mandi saja.

Inilah mulanya; Kak Yoenda di hari sebelumnya bergegas pamit ketika hujan hendak turun, Linggar yang pada awalnya membencinya karena menganggap ia adalah monster gunung yang suatu hari kelak bisa menghalanginya menguasai dunia, entah kenapa bisa bertekuk lutut pada pemuda dari kota itu. Ia benar-benar ingin tahu cara membikin puisi, ia memohon kepada Kak Yoenda saat itu agar mau mengajarinya dengan siap menanggung segala resiko yang akan terjadi, katanya. Mendengarnya, aku dan Kak Yoenda ketika itu langsung terbahak-bahak, langit jadi gemuruh saat itu juga, dan membuat Kak Yoenda memutuskan harus lekas beranjak dari sana, khawatir hujan turun.

“Aku selalu datang ke tempat ini di minggu ketiga setiap bulan setelah ini, tempat ini adalah kenangan bagiku. Kau kemarilah jika ingin menemui aku. Aku akan mengajarimu menulis dan membuat puisi.”

Seperti kata guru silat kepada murid silatnya saja. Namun tidak bisa dipungkiri, kata-kata itu adalah kata-kata perpisahan yang pada akhirnya terus terngiang di telinga Linggar, hal yang menurutku biasa saja, tapi membuat wajah Linggar entah kenapa bisa luar biasa sumringah. Apalagi sebelum berpisah dengan kami, Kak Yoenda memberikan sebuah buku kumpulan puisi berjudul “Mengaji di Surau Angin” yang ternyata adalah buku kumpulan puisi karyanya. Betapa tambah sumringah anak gunung yang aneh itu. Bahkan tak pernah kubayangkan, bocah gunung senakal dan sekeras kepala Linggar bisa tiba-tiba menjadi pribadi yang tenang ketika ia menemukan orang yang bisa menginspirasinya. Pelajaran hidup nomor satu : Temukan orang yang bisa kamu kagumi, maka kamu akan menemukan juga sisi lain dari dirimu yang kamu tidak ketahui.

**

“Ga, hari ini aku mau libur membantu ayah mengurus kebun.” Kata Linggar saat kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke tempat kami sekolah di desa yang biasa kami tempuh dalam waktu setengah jam dengan berjalan kaki. “Aku mau di rumah saja.”

“Kau sakit, Nggar?”

“Tidak. Tidak sakit. Aku hanya sedang jatuh cinta.”

“Jangan bilang kau jatuh cinta pada kakak yang kemarin, ya.”

“Kau gila, Ga.” Ia melewati jalan setapak dengan meloncat-loncat kecil, aku melihat cahaya di wajahnya, “Aku jatuh cinta pada puisi, tahu. Aku mau membuat puisi. Aku mau jadi tukang puisi yang hebat.”

“Tukang puisi?”

“Iya, tukang puisi.”

“Bodoh, kau. Istilahnya itu penyair.”

“Penyair? Darimana kau tahu istilah itu?”

“Semalam aku ngobrol sama paman tentang kamu saat kamu tidur. Katanya kamu punya bakat jadi penyair.”

“Semudah itu ayahku percaya pada dugaannya?”

“Dia tahu dari caramu memperlakukan buku yang diberikan Kak Yoenda padamu. Dari cara kamu melihat dunia setelahnya. Juga dari kelakuanmu yang berubah drastis hanya dalam hitungan jam.”

“Hahaha, jadi begitu,” Linggar menghentikan langkahnya, bersidekap tangan, lantas memegang dagu dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, “Pantas saja semalam aku bersin-bersin terus di alam mimpi.”

“Dari mana kau tahu kalau bersin-bersin bisa menjadi tanda kalau kau sedang dibicarakan?”

“Aku mengetahuinya dari buku komik.”

Kami tertawa.

“Kalau kau, Ga. Kau sudah memutuskan mau jadi apa kelak?”

“Apa saja yang penting keren.”

“Apa dong?” Linggar merangkulku, kebiasaannya ketika bicara dengan orang yang dianggapnya dekat, “Polisi? Dokter? Presiden? Tukang Cukur, mungkin?”

“Hahahaha, kau ini. Kenapa kau masukkan tukang cukur juga ke dalam daftar?”

“Hehehe, apa salahnya memasukkan tukang cukur ke dalam daftar? Bukankah tukang cukur itu juga cita-cita yang keren, Ga? Tukang cukur adalah satu-satunya orang yang bisa memegang kepala Presiden, tahu kau.”

“Tapi tukang cukur di samping sekolahan kita tidak, ‘kan?”

Tawa kami meledak lagi.

“Hahaha, kau ini. Payah!”

Ia mengeluarkan buku yang diberikan Kak Yoenda dari tas kumalnya, entah sudah berapa kali ia mengulang-ngulang membacanya. Dan jika sudah begitu, maka sudah bisa dipastikan kalau aku tak akan punya lagi teman untuk ngobrol.

Kami berjalan pelan hingga sekolahan. Aku menyibukkan diri dengan melihat pemandangan sekitar sementara Linggar menjadi autis dengan buku di tangannya. Matahari bersinar sangat ramah pagi itu, angin bulan Desember tak pernah habis membawa wangi tanah meski pagi itu cerah.

Aku baru menyadarinya hari ini, kalau ketika itu kami berdua adalah anak-anak yang istimewa. Meski masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar, kami sudah bisa membaca dengan lancar, walaupun Linggar lebih kutu buku dariku tapi, dibanding teman sekelas kami, mereka tidak ada apa-apanya, kecuali satu orang. Raya, namanya. Ialah yang oleh Linggar dianggap sebagai saingan terberatnya. Kemampuannya membaca setara dengan kami, bahkan lebih, karena kata cerita, di rumahnya banyak sekali buku-buku yang jika ditimbang beratnya bisa mencapai satu kilo per buku. Maklum, ia adalah anak juragan sayur yang kaya raya. Dia juga bahkan punya komputer sendiri di rumah. Sementara di rumah kami, hanya ada buku-buku bekas yang dibeli paman kalau sedang ke kota dan sebuah kalkulator milik paman yang dianggap Linggar sebagai barang berharga.

Walau tinggal di gunung, paman ingin kami tumbuh menjadi sosok yang berpengetahuan luas. Itulah kenapa ia mengajari kami membaca sejak usia kami empat tahun. Ia seperti tahu kemampuan yang tersimpan dalam diri kami. Sejak tahu kami suka membaca komik yang pernah diberikan oleh seorang pendaki gunung saat ia mampir di rumah kami sebagai kenang-kenangan, paman rajin membeli buku-buku bekas saat sedang ke kota untuk kami. Dari buku dongeng bergambar, RPAL, hingga buku cara beternak kambing. Pokoknya buku-buku yang dianggapnya murah dan merasa harganya terjangkau oleh isi kantongnya, ia pasti akan membelinya dan memberikannya kepada kami supaya kami membacanya. Tak heran, cara bicara kami pun menjadi dewasa sebelum waktunya. Yang dilakukan paman itu, baru kusadari di kemudian hari bahwa, ternyata semua itu bukanlah hal yang tidak ia rencanakan. Paman menyimpan sebuah rahasia besar yang pada akhirnya kami ketahui ketika usia kami sudah dewasa nantinya.

**

Aku selalu kehabisan akal begitu kami memasuki gerbang sekolah yang ditandai hanya oleh dua pohon kelengkeng tua, ada keributan yang pasti ditimbulkan oleh Linggar jika kami sudah sampai di sana. Pasalnya, salah satu pohon itu adalah tempat favorit Raya. Anak juragan sayur itu selalu membaca buku entah apa di bawah pohon kelengkeng itu jika bell sekolah belum berbunyi. Aku menyebutnya seperti sebuah gengsi, atau barangkali semacam tindakan yang sengaja dilakukannya karena dirasanya hal itu akan mengangkat harga dirinya. Ia mengira dengan melakukan hal itu ia nantinya akan dianggap sebagai anak kecil yang jenius karena sudah bisa membaca buku-buku tebal oleh guru dan murid-murid di sekolahan kami. Barangkali.

Jika keduanya—Linggar dan Raya—telah saling mengerling sinis, adu mulut di antara mereka sudah pasti terjadi di gerbang sekolah itu. Paling tidak, itulah yang biasanya terjadi. Tapi, hari itu lain. Awalnya yang akan terjadi memang hampir seperti biasanya, mereka saling bertatap muka jika sudah saling mengerling sinis, tapi ketika itu Linggar malah tertawa lebar dan memeluk Raya erat. Tak heran wajah Raya mendadak merah. Dari ukuran tubuhnya yang gembul jelas bisa diprediksi kalau ia memiliki kekuatan yang lebih besar beberapa kali lipat dibanding Linggar. Hal itu dibuktikan dari satu gerakan perut ke depannya yang cukup keras ketika hendak melepaskan pelukan Linggar dari tubuhnya. Dan Linggar terpental karenanya. Aku tak pernah membayangkan betapa repotnya aku jika dua makhluk keras kepala ini beradu fisik. Jelas saja repot karena aku adalah saudara dekat Linggar, satu rumah pula. Juga mengingat bahwa linggar memiliki tubuh yang ceking, ia tentu akan lebih punya banyak luka jika berkelahi. Membawanya pulang ke rumah kami yang ada di tengah lembah jelas akan menjadi penderitaan stadium empat bagiku jika yang terjadi benar akan seperti itu. Tapi, untung saja selama ini hal itu tidak pernah terjadi.

“Apa maksudmu?” tanya Raya sambil membenarkan letak kacamatanya yang sedikit berubah karena gerakannya tadi. “Kau tiba-tiba jadi aneh begini.”

Linggar mengelus-elus rambutnya sendiri, “Aku mau minta maaf sama kamu.” Katanya.

“Kenapa tiba-tiba kau minta maaf padaku?”

“Sebab selama ini aku nakal sama kamu.”

“Tapi aku tidak merasa pernah kalah darimu ‘kok.”

“Yah, begitulah.” Linggar berkacak pinggang. Ia menunjuk langit dengan tangan kanannya kemudian, namun matanya tetap memandang mata Raya dalam-dalam. “Mulai sekarang..”

“Mulai sekarang apa?”

“Aku tidak peduli apakah kau kelak akan menguasai dunia.” Linggar mengepalkan tangannya yang sebelumnya menunjuk langit, kemudian memukulkannya pelan tepat di tengah dadanya sendiri. “Karena aku sudah punya cita-cita yang lebih keren. Aku mau jadi seorang penyair!”

“Hah?” wajah Raya mendadak sengak. Ia pun berlalu tanpa sepatah katapun. Kulihat wajahnya berkeringat. Lelaki kecil gembul itu, seperti merasa baru saja berhadapan dengan orang gila.

Tapi, kulihat wajah Linggar tetap dipenuhi senyuman. Ia menatap punggung Raya yang berjalan kian menjauh dari kami, kemudian mengalihkan tatapannya itu ke bunga-bunga sawi yang menguning cerah dan melambai centil ditingkahi angin di kebun di samping sekolahan.

“Ga,” katanya, “Dia punya banyak buku ‘kan?”

“Iya, kenapa?”

“Aku sekarang mau berteman dekat dengannya.”

“Kenapa bisa tiba-tiba kau punya pikiran begitu?”

“Karena,” ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan mengerling padaku, “Aku mau memanfaatkannya.”

Aku hendak tertawa dengan pernyataannya yang terkesan usil itu, tapi ketika melihat matanya yang entah kenapa pagi itu terlihat berkabut, aku mengurungkan niatku untuk menertawakan keusilannya. Ada hal lain yang ia sembunyikan yang kurasa tak ingin dikatakannya. Sesuatu yang aku tidak tahu entah apa itu.

Sepertinya pertemuan kemarin dan buku yang diberikan Kak Yoenda padanya berhasil mengubah kepribadian bocah aneh itu. Menatap benda-benda hidup dan mati yang saat itu tekun dilakukannya, sepertinya telah mengubah sudut pandangnya tentang kehidupan. Memang susah dipercaya, dan aku juga baru menyadarinya hari ini. Di usianya yang belum genap delapan tahun ketika itu, Linggar telah mengenal puisi dari buku pemberian Kak Yoenda, dan dari puisi-puisi itu, ia mengenal sesuatu yang oleh banyak orang disebut sebagai filsafat. Ajaib.

The Butterfly Code [Lesson #2nd : Something Behind Your Foggy Eyes] - End © Awan Tenggara 2013 Baca Juga : The Butterfly Code [Prolog]

The Butterfly Code [Lesson #1: Children of The Valley]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun