Sederhana. Jika hanya boleh menceritakan buku ini, maka kata sederhana bisa menggambarkannya. Alur cerita dan gaya bahasa, saat membaca sudah bisa ditebak bahwa, "Oh, ini Raditya Dika".
Sosok Raditya Dika adalah komika dan penulis dengan gaya yang sederhana, seperti salah satu karyanya yang akan dibahas pada artikel ini. Timun Jelita. Sebuah buku fiksi yang saya baca lebaran tahun ini.
Berkisah tentang Timun, seorang akuntan freelance yang tiba-tiba ingin mewujudkan mimpinya menjadi memiliki band setelah suatu hari mendapat gitar tua mendiang ayahnya. Di usianya yang tidak muda, tentu itu bukan hal yang mudah. Malah terkesan mustahil. Beruntung, Timun mengenal Jelita yang tidak bukan adalah sepupunya sendiri yang cukup jenius dalam bermusik. Perjalannya menuju panggung tidak mudah. Ada beberapa konflik yang harus dihadapi. Bukan konflik yang rumit dan berat untuk dipikirkan pembaca, terkesan lebih ringan, sederhana, tetapi nyata. Konflik rumah tangga Timun yang tak kunjung memiliki anak, masalah pekerjaan, usia yang tak muda. Dan bagi Jelita, ada permasalahan dewasa muda yang bisa related dengan pembaca yang seusianya.
Sebagai pembaca yang usianya sama dengan Jelita, saya bisa memahami dengan begitu baik perasaan seorang Jelita. Bagaimana trauma itu muncul. Rasa enggan untuk memulai karena ketakutan akan hal yang sama akan terulang setelah dikhianati. Sementara Timun, meski tidak related karena usia, tetapi masalah yang dihadapinya rasanya adalah masalah yang memang dihadapi orang seusianya.
Cerita tentang Jelita terkesan lebih menarik karena cukup didalami dalam buku ini. Lebih dominan daripada cerita Si Timun. Padahal, saat membaca bagian depan saya berpikir bahwa "Oh, ini cerita tentang Timun." Tapi ternyata saya yang lupa bahwa judul bukunya "Timun Jelita".
Jokes ala bapak-bapak yang menyegarkan juga membuat buku ini tidak membosankan, ditambah ceritanya sangat ringan. Saya merasa bahwa karakter Timun ini adalah sosok "Radit" itu sendiri, seolah Sang Penulis buku tengah menggambarkan dirinya sendiri. Pada akhir buku, sejujurnya saya merasa, "Oh, gini aja? Udah gini aja? Beneran?". Mungkin, karena saking "sederhananya" konflik ceritanya. Uniknya, Radit juga menyelipkan karya musik yang bisa didengar melalui akun Youtubnya dengan judul "Jika Bersamamu", "Jangan Terlalu Aneh,", "Juga Berdua," dan "Kena Lagi di Hati.".
Buku ini mengajarkan sedikit tentang, bahwa menjadi tua bukan berarti tidak boleh menggapai mimpi. Tidak ada yang mustahil karena selalu ada jalan. Sebagai seorang pemudi yang pernah menghadapi trauma ditinggalkan dan dicampakan, merasakan ketakutan untuk memulai kembali dan menghadapi hal yang sama di masa depan, tidak perlu merasa khawatir berlebihan. Sesederhana apapun mimpi, tidak perlu takut untuk mencoba, jangan menyerah karena rintangannya mungkin tidak akan mudah.
Dari buku ini juga, sebagai seorang penulis yang tidak berpengalaman, saya menyadari bahwa menulis tidak harus bermajas, bersajak, atau menyajikan konflik yang rumit dan memusingkan untuk membuat pembaca terkesan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI