Banyuwangi, kabupaten paling timur di Pulau Jawa dengan julukan "Sunrise of Java," tak hanya dikenal akan keindahan alam dan budaya yang memikat, tetapi juga menghadapi kompleksitas dalam upaya pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Di tengah laju pembangunan dan citra pariwisata yang kian gemilang, mempertahankan HAM di Banyuwangi adalah tugas berkelanjutan yang menuntut kolaborasi dari pemerintah daerah, masyarakat sipil, hingga setiap individu.
Sebagaimana daerah lain yang kaya sumber daya alam, Banyuwangi kerap diliputi konflik agraria. Perebutan atau sengketa lahan antara masyarakat lokal (petani, masyarakat adat) dengan korporasi pertambangan, perkebunan, atau bahkan kepentingan pembangunan infrastruktur, seringkali memicu pelanggaran hak atas tanah, hak untuk hidup layak, dan hak atas lingkungan yang sehat.
Medan Pertempuran Hak Atas Tanah:
Salah Satu Contoh Desa Pakel, yang terletak di Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, telah lama menjadi medan pertempuran dalam konflik agraria yang kompleks dan berlarut-larut. Konflik ini melibatkan masyarakat petani Desa Pakel, Perhutani, dan PT Bumi Sari, dengan akar permasalahan yang merentang jauh ke belakang, hingga era kolonial Belanda.
 Sengketa Lahan Sejak 1929: Sejarah yang Tak Terlupakan:
 Mayoritas penduduk Desa Pakel adalah petani yang kehidupannya bergantung pada lahan. Sejarah mencatat bahwa leluhur warga Desa Pakel, Doelgani, Karso, dan Senen, telah menerima izin pembukaan lahan hutan seluas sekitar 4.000 bahu dari Bupati Achmad Noto Hadi Soerjo pada 11 Januari 1929, dibuktikan dengan berkas berbahasa Belanda. Masyarakat awalnya mengelola tanah tersebut, namun kemudian diusir oleh Perhutani. Hingga saat ini, tanah tersebut masih diklaim sebagai milik Perhutani KPH Banyuwangi Barat, sehingga masyarakat tidak dapat menikmati manfaat dari tanah yang secara historis mereka kelola.
Warga Desa Pakel berpegang pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, yang menyatakan bahwa hak atas tanah dapat dicabut untuk kepentingan umum dengan ganti rugi yang layak. Mereka juga menyoroti fakta bahwa Perhutani baru didirikan pada tahun 1961, sementara mereka memiliki hak lama yang diberikan oleh Bupati Banyuwangi pada tahun 1929. Batas Desa Pakel sendiri telah ditetapkan dan diakui oleh Surat Keputusan Nomor 188/402.011/2015 yang dikeluarkan oleh Bupati Banyuwangi pada 5 Agustus 2015, didasarkan pada peta saat penjajahan Belanda.
Upaya Penyelesaian Konflik Agraria Desa Pakel:
Melanjutkan upaya penyelesaian konflik agraria, penting bagi semua pihak untuk tetap terbuka terhadap dialog dan kompromi. Membangun kerangka kerja yang inklusif dan transparan akan memfasilitasi pembahasan dan penyelesaian masalah secara efektif. Dengan komitmen dan kerja sama yang kokoh dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat lokal, penyelesaian konflik di Desa Pakel dapat dicapai dengan menghormati hak semua pihak, serta menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial.
Sumber:
Daulathijau. (2021). UUPA 60 Sebagai Solusi Penyelesaian Konflik Agraria di Desa Pakel, Banyuwangi. Front Nahdliyn Untuk Kedaulatan Rakyat.