Mohon tunggu...
M. Auritsniyal Firdaus
M. Auritsniyal Firdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Alumni S1 Jurusan Muamalah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Walisongo Semarang - Mahasiswa S2 Prodi Hukum Bisnis Syariah Jurusan Hukum Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Pasca Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012

19 Juni 2015   19:59 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:38 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

Pasca Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012

Oleh : M. Auritsniyal Firdaus

Alumni S1 Jurusan Muamalah Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang

Mahasiswa S2 Prodi Hukum Bisnis Syariah Jurusan Hukum Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
       Menurut Pasal 1 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Dalam hal ini penulis tak akan membahas lebih lanjut mengenai perbankan syariah, penulis hanya akan menjelaskan bagaimana penyelesaian sengketa perbankan syariah pasca putusan MK No. 93/PUU-X/2012. Secara prinsip, penegakan hukum hanya dilakukan kekuasaan kehakiman, maka yang berwenang mengadili dan memeriksa sengketa hanya lembaga peradilan yang bernaung dibawah kekuasaan kehakiman dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Namun berdasarkan pasal 1851, 1855, 1858 KUHP, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 serta UU N0. 30 tahun 1999 tertang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi). Untuk membahas lebih lanjut, maka perlu ditelaah satu persatu :

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Non Litigasi   

Di Indonesia, penyelesaian sengketa syariah melalui jalur non litigasi daiatur dalam satu pasal, yakni pasal 6 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Arbitrase

       Arbitase mempunyai kesamaan dengan istilah tahkim. Secara etimologis tahkim berarti menjadi seorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pada Tahun 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), sekarang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang diputuskan pada tahun 2002. Perubahan bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 sebagai lembaga arbitrer yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa di bidang syariah. Kedudukan BASYARNAS menurut penjelasan pasal 3 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi dari pengadilan. Kewenangan BASYARNAS berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, dan jasa. Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut.

Alternatif Penyelesaian Sengketa

       Secara terminologi islam dikenal dengan ash-shulhu, yang berarti memutus pertengkaraan atau perselisihan. Ash-shulhu mempunyai pengertian suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara dua orang yang bersengketa. Alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan  penyelesaian secara litigasi. Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan, maka secara tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan. Perbedaan arbiter dan hakim dengan seorang mediator tidak membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi tetapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka dan menemukan pemecahan masalah dengan win-win solution. Tidak ada pihak yang kalah atau yang menang, semua sengketa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Sehingga hasil keputusan mediasi tentunya merupakan konsensus kedua belah pihak.

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Litigasi

       Mengenai badan peradilan yang berwenang menyelesaikan perselisihan jika terjadi sengketa perbankan syariah memang sempat menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Apakah  menjadi kewenangan Pengadilan Umum atau Pengadilan Agama. Dengan di amademennya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan  keluasan, ruang lingkup tugas dan wewenang memeriksa, mengadili, maupun menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syariah meliputi : bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah, surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. Yang dimaksud dengan antara orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Adapun sengketa dibidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama :

  1. Sengketa dibidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya.
  2. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah.
  3. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

       Selain dalam hal kewenangan, UU No. 3 Tahun 2006 juga mengatur kompetensi absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Di dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga mengatakan penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Namun ada problematika kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa di bidang perbankan syariah, dimana dalam UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah terjadi perbenturan kewenangan  dalam  penjelasan pasal 55 ayat (2)  berisi tentang penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan sesuai akad meliputi: arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa, dan peradilan umum. Penjelasan pasal 55 ayat (2) menimbulkan ketidakpastian hukum dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Namun Putusan MK Nomor 93/PUUX/2012 memang telah menyelesaikan problem dualisme penyeleseaian sengketa secara litigasi, yaitu menyerahkan kewenangan absolute menyelesaikan sengketa perbankan syariah secara litigasi kepada Pengadilan Agama. Walaupun penjelasan pasal 55 ayat (2) dihapus, secara non litigasi dikembalikan lagi pada pasal 55 ayat (2) yang berbunyi : Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pada Pengadilan Agama, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Pasal 55 ayat (2) mempunyai arti penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan sesuai dengan akad atau perjanjian. Jadi setelah adanya putusan MK Nomor 93/PUUX/2012, penyelesaian sengketa perbankan syariah secara litigasi ditangani oleh Pengadilan Agama. Adapun secara non litigasi ditangani oleh Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Arbitrase dalam hal ini diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), sedangkan alternatif sengketa lainnya diselesaikan melaui kesepakatan penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad baik. Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan, maka secara tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun