Mohon tunggu...
Erta aulia rahma frindani
Erta aulia rahma frindani Mohon Tunggu... mahasiswa Hukum

mahasiswa universitas 17 agustus 1945 surabaya dengan jurusan ilmu hukum.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Fenomena sound horeg dalam aspek ilmu negara

28 September 2025   09:00 Diperbarui: 28 September 2025   09:03 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fenomena penggunaan sound horeg dalam masyarakat seringkali menimbulkan pro
dan kontra. Bagi sebagian pihak, sound horeg dianggap sebagai sarana hiburan dan ekspresi
budaya dalam hajatan maupun kegiatan sosial. Namun, bagi pihak lain, keberadaannya
menimbulkan gangguan serius berupa polusi suara yang merusak ketenangan lingkungan. Dari
sudut pandang demokrasi, penting untuk mendengarkan kedua suara ini agar keputusan yang
diambil negara tidak bersifat sepihak.

Jika ditinjau dari norma hukum, negara memiliki kewajiban menjaga ketertiban umum.Hukum berfungsi melindungi hak masyarakat luas atas kenyamanan hidup, termasuk hak untuk
istirahat, bekerja, dan belajar tanpa terganggu kebisingan. Larangan terhadap sound horeg
dapat dipandang sebagai implementasi hukum yang bertujuan menjaga keseimbangan antara
hak individu penyelenggara hiburan dan hak kolektif masyarakat yang membutuhkan
ketenangan. Hal tersebut sejalan dengan surat edaran bersama nomor 300.1/6902/209.5/2025,
nomor SE/1/VIII/2025, nomor SE/10/VIII/2025 tentang penggunaan saound system/ pengeras
suara di wilayah Jawa Timur.

 Dalam perspektif norma agama, hampir semua agama mengajarkan agar umatnya tidak merugikan orang lain. Kebisingan berlebihan dapat digolongkan sebagai perbuatan yang membawa mudarat, karena menimbulkan keresahan dan bahkan masalah kesehatan. Tindakan negara melarang sound horeg selaras dengan prinsip agama, yaitu mencegah kemudaratan lebih besar dan menegakkan nilai kemaslahatan bagi umat. Adapun terkait permasalahan sound horeg di jawa timur MUI jawa timur mengeluarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Timur Nomor 1 tahun 2025 tentang penggunaan sound horeg.

Norma kesusilaan juga menilai perilaku penggunaan sound horeg yang berlebihan
sebagai tindakan yang tidak patut. Kesusilaan menuntut setiap individu menghormati hak dan
kenyamanan orang lain. Dengan demikian, larangan negara dapat dipandang sebagai dorongan
untuk mengembalikan rasa kepatutan, etika, dan sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal ini sejalan dengan pandangan demokratis yang menghargai harmoni sosial.

Namun demikian, dalam semangat demokrasi, negara juga tidak boleh menutup mata terhadap alasan-alasan sosial dan budaya yang melatarbelakangi penggunaan sound horeg.
Bagi sebagian masyarakat, sound horeg adalah bagian dari tradisi hiburan rakyat yang
dianggap mempererat hubungan sosial. Maka, daripada melarang secara total, negara perlu
membuka ruang dialog dan mencari solusi yang adil, seperti pembatasan waktu, tingkat
volume, atau penyediaan area khusus.

Demokrasi mengajarkan bahwa kebijakan terbaik adalah kebijakan yang lahir dari musyawarah dan partisipasi masyarakat. Dalam kasus ini, pemerintah sebaiknya melibatkan
masyarakat pengguna sound horeg maupun pihak yang merasa terganggu untuk mencapai
kesepakatan bersama. Dengan cara ini, larangan atau pembatasan tidak dipandang sebagai
paksaan sepihak, melainkan sebagai hasil konsensus yang adil.

Dengan menimbang norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan, dapat disimpulkan bahwa larangan negara terhadap sound horeg memiliki dasar yang kuat. Namun,agar tetap demokratis, pelaksanaan kebijakan harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak melalui musyawarah dan kompromi. Dengan pendekatan demikian, negara tidak hanya menjaga ketertiban umum, tetapi juga tetap menghargai kebebasan berekspresi masyarakat dalam koridor yang beradab dan berkeadilan.

Larangan negara terhadap sound horeg memiliki dasar kuat dari norma hukum, agama,dan kesusilaan karena bertujuan menjaga ketertiban umum, mencegah mudarat, dan
menegakkan etika sosial. Namun, agar tetap demokratis, kebijakan ini sebaiknya tidak sepihak,
melainkan dilaksanakan melalui dialog dan kompromi dengan masyarakat, sehingga hak
ekspresi budaya penyelenggara hiburan tetap dihargai tanpa mengorbankan kenyamanan
masyarakat luas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun