Pernah nggak sih, kamu merasa seperti tertinggal?
Saat teman-teman mulai bekerja di perusahaan besar, ada yang lanjut S2 ke luar negeri, ada yang jadi content creator dengan ribuan followers, bahkan ada yang sudah buka usaha sendiri dan bisa gaji karyawan, sementara kamu masih di kamar, memandangi layar laptop, overthinking tentang arah hidup yang belum juga jelas. Dan kamu mulai bertanya ke diri sendiri: Aku salah langkah? Atau aku yang terlalu lambat?
Pertanyaan itu datang lagi dan lagi. Terutama saat media sosial menyodorkan "kesuksesan" orang lain dengan begitu mudah. Kita melihat highlight orang lain setiap hari: pencapaian, postingan pamer kerjaan, potret kebahagiaan, testimoni keberhasilan. Lama-lama, kita mulai merasa, "Aku harus segera jadi sesuatu. Aku harus cepat-cepat sukses."
Tapi... siapa sebenarnya yang menetapkan bahwa kita harus sukses secepat mungkin?
Apakah sukses di usia muda adalah satu-satunya bentuk pencapaian? Apakah hidup ini kompetisi siapa paling cepat jadi 'apa-apa'? Apa artinya jadi 'terlambat'? Dan, kenapa kita begitu takut untuk terlihat biasa-biasa saja?
Terjebak dalam Kecepatan yang Bukan Milik Kita
Sebagian besar dari kita dibesarkan dengan target-target sosial yang tidak pernah benar-benar kita pilih sendiri. Kita tumbuh dalam budaya pembanding. Sejak kecil kita ditanya ranking berapa, kuliah di mana, kerja di mana, gaji berapa, dan sekarang sukses di usia berapa. Semuanya diukur dengan standar yang seragam, padahal hidup tiap orang sangat berbeda.
Kita seperti sedang duduk di kereta, melihat penumpang lain turun lebih dulu di stasiun tujuan mereka. Lalu kita panik. Padahal kita lupa, setiap orang punya stasiun yang berbeda. Kita lupa bahwa lambat bukan berarti tidak bergerak. Kita lupa bahwa "terlambat" adalah definisi yang hanya berlaku jika semua orang punya arah yang sama.
Padahal enggak. Ada yang memang ingin kerja kantoran. Ada yang ingin jadi freelance. Ada yang memilih mengabdi ke desa. Ada juga yang masih mencari-cari arti hidup dan sedang bingung. Dan itu wajar.
Cepat Sukses Belum Tentu Bahagia
Kita perlu hati-hati dengan keinginan untuk "cepat sukses". Kadang, itu bukan karena kita tahu ke mana tujuan kita, tapi karena kita takut dilihat nggak jadi apa-apa. Takut dibanding-bandingkan. Takut mengecewakan keluarga. Takut dibilang hidupnya stagnan.
Namun sukses yang dipaksa dari rasa takut sering kali melelahkan. Kita memaksa diri untuk mencapai sesuatu demi validasi, bukan karena itu benar-benar mimpi kita. Kita memaksakan pencapaian demi meredam tekanan sosial, padahal hati kecil kita belum siap.
Dan ketika kita berhasil pun, rasa kosong itu tetap ada. Karena kita nggak pernah benar-benar tahu: Apakah ini sukses yang aku mau? atau apakah ini cuma ekspektasi yang aku penuhi demi dianggap berhasil?
Itulah mengapa banyak orang terlihat sukses di luar, tapi tidak bahagia di dalam. Burnout, kehilangan arah, merasa hampa meskipun punya semuanya. Karena pencapaian tanpa makna hanya jadi beban yang dibanggakan di luar, tapi menghancurkan di dalam.
Sukses Nggak Punya Deadline
Sukses itu bukan lomba cepat-cepat. Kita tidak sedang lomba lari estafet. Hidup bukan kompetisi, dan tidak ada peluit yang menandai siapa yang menang lebih dulu.
Kita mungkin belum punya pencapaian besar hari ini. Tapi bukan berarti kita nggak akan pernah punya. Proses tiap orang beda-beda. Ada yang sukses di usia 20-an, ada yang di usia 30, bahkan ada yang baru benar-benar menemukan dirinya di usia 50.
Kolonel Sanders baru menemukan KFC di usia 65. Vera Wang mulai jadi desainer di usia 40-an. Morgan Freeman mendapat peran film besar pertamanya di usia hampir 50. Dan mereka semua punya satu hal yang sama: mereka nggak terburu-buru, tapi konsisten berjalan.
Kita terlalu sibuk membandingkan garis start dan finish, padahal kita semua sedang menempuh maraton yang sangat personal. Kamu nggak harus jadi seperti mereka. Kamu hanya perlu jadi versi terbaik dirimu dengan kecepatanmu sendiri.
Membangun Pondasi Itu Perlu Waktu
Kamu mungkin belum punya pencapaian besar hari ini. Tapi kamu sedang belajar. Kamu sedang membangun. Kamu sedang memperbaiki cara berpikir, memperluas wawasan, memperkuat mental, dan memperdalam nilai-nilai hidup. Semua itu butuh waktu, dan justru itu fondasi paling kuat untuk masa depan.
Kalau semua orang bisa sukses cepat, maka semua orang juga bisa jatuh cepat. Tapi yang membangun dirinya perlahan, dengan kesadaran dan proses yang jujur, akan lebih tahan lama saat berhasil nanti.
Jangan buru-buru. Pelan-pelan pun tak apa, asal kamu tahu kamu sedang menuju ke mana. Dan kalau kamu belum tahu, maka tak apa juga. Hidup ini bukan skenario yang harus kamu hafal. Kamu boleh eksplorasi. Boleh tersesat. Boleh gagal dulu. Asal kamu terus berjalan.
Yang Penting Bukan Cepat, Tapi Bertumbuh
Kita semua sedang dalam perjalanan. Tak perlu merasa buruk hanya karena belum sampai. Tak perlu merasa gagal hanya karena belum punya 'cerita besar' yang bisa dibagikan. Yang penting bukan cepat atau lambat, tapi apakah kita sedang bertumbuh.
Jangan takut jadi versi terlambat dari kesuksesan. Lebih baik terlambat tapi sadar, daripada cepat tapi kehilangan arah. Kamu nggak harus cepat-cepat sukses. Kamu hanya perlu jujur dengan prosesmu, dan tenang dalam pertumbuhanmu.
Karena hidup bukan tentang siapa paling duluan sampai,
tapi siapa yang paling setia menjalani dengan utuh, dengan sadar, dan dengan hati yang hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI