Mohon tunggu...
Aulia Putri Al Amin
Aulia Putri Al Amin Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa S1 jurusan Pendidikan Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena "Ngepods" di Kalangan Remaja dan Mahasiswa: Gaya Hidup, Identitas, dan Tantangan Sosial

28 Juni 2025   16:57 Diperbarui: 28 Juni 2025   17:15 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, lembaga pendidikan harus menyadari bahwa penggunaan pods bukan hanya soal kesalahan pribadi atau kenakalan remaja semata. Banyak anak muda yang terlibat dalam kebiasaan ini karena merasa perlu untuk diterima oleh lingkungan pergaulan mereka. Maka dari itu, penting bagi sekolah dan kampus untuk menciptakan iklim sosial yang sehat dan inklusif, di mana penerimaan terhadap perbedaan lebih diutamakan dibanding pemaksaan standar "gaya hidup keren" yang semu. Ketika lembaga pendidikan menciptakan ruang aman dan suportif, tekanan sosial terhadap anak muda bisa diminimalisir.

Ketiga, pendidikan karakter harus diperkuat sebagai fondasi utama dalam membangun generasi muda yang kuat secara moral dan sosial. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, keberanian untuk berkata tidak, serta kemampuan berpikir independen harus diajarkan dan ditanamkan sejak dini. Sering kali, anak muda terjerumus ke dalam kebiasaan yang merugikan karena tidak memiliki daya tahan terhadap tekanan dari luar. Pendidikan karakter yang terintegrasi dalam kurikulum dan budaya sekolah dapat membantu siswa untuk lebih mengenal diri mereka, memahami tujuan hidup, dan berani mengambil sikap yang sehat.

Keempat, perlu adanya pelibatan aktif dari orang tua, guru, dan tokoh masyarakat dalam menyikapi budaya ngepods. Pendidikan tidak dapat berjalan secara parsial. Orang tua perlu mendapatkan edukasi tentang perkembangan budaya anak muda, sehingga mereka dapat membimbing anak-anaknya dengan empati dan pemahaman, bukan hanya dengan larangan atau hukuman. Demikian pula, guru dan dosen harus menjadi teladan serta fasilitator dialog, bukan sekadar pengajar teori. Kolaborasi ini akan memperkuat ekosistem pendidikan yang mampu membendung dampak negatif dari tren seperti ngepods.

Kelima, sekolah dan kampus bisa mengembangkan program-program kreatif yang menjadi alternatif sehat dari budaya tongkrongan yang identik dengan pods. Misalnya dengan menyediakan ruang ekspresi seni, komunitas diskusi, olahraga bersama, atau kegiatan relawan yang memberi makna sosial. Ketika anak muda merasa punya tempat untuk menyalurkan energi dan mencari identitas tanpa harus merokok atau ngepods, maka mereka akan lebih mudah terhindar dari pengaruh negatif lingkungan.

Dengan refleksi ini, pendidikan seharusnya tidak lagi bersifat reaktif, hanya bertindak ketika sudah muncul kasus. Sebaliknya, pendidikan harus bersifat preventif dan proaktif dalam melihat gejala-gejala sosial yang berkembang. Fenomena ngepods hanyalah satu dari sekian banyak tren kepemudaan yang merefleksikan kegelisahan identitas, pencarian pengakuan, dan kehampaan nilai. Jika tidak direspons secara serius, maka tren semacam ini akan terus berkembang dan mengakar dalam kehidupan generasi muda.

Penutup

Fenomena ngepods di kalangan remaja dan mahasiswa tidak bisa hanya dipandang sebagai tren sesaat, melainkan harus dibaca sebagai representasi dari dinamika sosial, tekanan kelompok sebaya, dan budaya populer yang berkembang. Melalui pendekatan sosiologi, kita dapat memahami bahwa budaya ngepods bukan sekadar masalah individu, melainkan hasil konstruksi sosial yang dibentuk oleh interaksi simbolik, pengaruh media, dan strategi pasar yang mengeksploitasi kebutuhan anak muda akan identitas, penerimaan, dan gaya hidup.

Fenomena ini mencerminkan adanya transformasi nilai dalam masyarakat kita, terutama di kalangan generasi muda. Ketika simbol-simbol gaya hidup menjadi lebih dominan daripada substansi nilai dan makna hidup, maka terjadi pergeseran identitas yang sering kali tidak disadari. Ngepods menjadi lebih dari sekadar kebiasaan, ia adalah simbol eksistensi, kebebasan semu, dan bahkan alat pembeda kelas sosial dalam pergaulan. Maka, masalah ini tidak cukup hanya diselesaikan melalui pendekatan kesehatan, tetapi juga menuntut pendekatan kultural, edukatif, dan sosiologis yang lebih menyeluruh.

Penting untuk disadari bahwa anak muda adalah kelompok yang sangat rentan terhadap pengaruh eksternal, terutama dalam era digital yang serba cepat dan penuh distraksi. Dalam konteks ini, mereka membutuhkan bimbingan dan ruang refleksi, bukan sekadar larangan atau hukuman. Lembaga pendidikan, sebagai ruang sosial yang membentuk nilai dan karakter, memegang peran vital dalam menyikapi tantangan ini. Dunia pendidikan tidak boleh gagal membaca realitas sosial anak muda yang terus berubah. Pendidikan harus hadir sebagai kekuatan sosial yang bukan hanya mendidik secara kognitif, tetapi juga membentuk identitas dan kesadaran kritis.

Selain itu, peran keluarga dan masyarakat juga tidak bisa diabaikan. Budaya ngepods muncul dan berkembang bukan di ruang hampa, tetapi dalam ekosistem sosial yang permisif dan sering kali abai. Oleh karena itu, perlu ada kolaborasi lintas sektor antara orang tua, pendidik, tokoh masyarakat, dan institusi pemerintah dalam membangun ekosistem sosial yang sehat, yang mampu membentuk generasi muda yang berpikir jernih, berperilaku bijak, dan memiliki kontrol diri yang kuat.

Dengan refleksi yang mendalam dan kesadaran kolektif yang dibangun, kita tidak hanya merespons satu gejala sosial, tetapi juga membangun fondasi yang lebih kuat bagi masa depan generasi muda Indonesia. Jika fenomena ngepods dibiarkan tanpa ada respons yang kritis dan solutif, maka kita sedang mempertaruhkan kualitas generasi penerus bangsa yang seharusnya tumbuh dalam lingkungan yang mendukung kesehatan fisik, mental, dan sosial mereka. Maka dari itu, sekaranglah saat yang tepat untuk melakukan perubahan, dimulai dari kesadaran, dilanjutkan dengan pendidikan, dan diwujudkan dalam aksi nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun