Mohon tunggu...
Nur Aulia Lidyanto
Nur Aulia Lidyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis seadanya

Suka jajan dan traveling, gak suka kerja tertekan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semu

3 Januari 2019   08:07 Diperbarui: 3 Januari 2019   08:47 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ia seorang kaya, juga berkedudukan di negeri ini. Tapi tidak lah semua yang ia miliki mengikutinya keliang kubur." Terang Kulin kepada Minah. Paruh baya yang setia. Sosok wanita masa lalu yang hidup di masa kini, telah menemani Kulin menghabiskan seperempat abad hidup bersama tanpa seorang anak untuk diasuh. Sembari menyesap kopi hitam racikan sang istri.

Ia kemudian melanjutkan, "Ia korup, hingga ajal menemuinya setelah putusan hakim soal berapa lama ia harus menginap di hotel prodeo". Minah hanya tercengang mendengar penuturan si penggali kubur. Dalam otak berputar pertanyaan-pertanyaan perihal pengetahuan suaminya terkait orang yang baru di kubur itu.

"siapakah gerangan yang telah memberitahukan engkau soal yang begitu? Lalu apa tidak ada wartawan yang menjejali pekuburan?" Minah antusias menanggapi cerita sang suami tanpa mengindahkan pengetahuan Kulin.

"Dua orang peziarah yang mengantarkan ke pemakaman membicarakannya di perjalanan pulang. Aku tidak sengaja curi dengar pembicaraan itu sebab aku berada di belakang bayangan mereka saat itu. Keduanya merupakan kerabat jauh si mati." Kulin mengetukkan jari di atas tungkahan kursi bambu, tanda berpikir, "kalau tidak salah yang wafat bernama bapak Soeprapjo seorang pegawai tinggi di peradilan agama".

"walah, wong peradilan agama?!" sergah Minah. Kulin mengisyaratkan kepada istrinya untuk mendekatkan telinga

 "kematiannya di rahasiakan pihak keluarga karena takut tersebar isu bahwa pak Prapjo itu bunuh diri". Ucap Kulin setengah berbisik kepada istrinya.

Keduanya hening seketika. Persepsi macam-macam seketika berkelebat di benak mereka.  

"memang benar kata ibu bapakku dulu" Minah  menerawang mengingat masa lalu "mau jadi apapun kita di dunia, mau seberapapun kita kaya, mau dimanapun posisi kita semua akan di tinggal pabila ruh berpisah dari jasad. Hanya beberapa lembar kaci saja yang ikut masuk ke lahat". Minah menatap Kulin lekat sembari tersenyum.

"iya benar katamu dek, pada akhirnya dunia hanya persinggahan sementara. Pertama kita yakin semua yang kita miliki tidak akan berakhir lalu ketika si kematian datang seolah yang telah kita kumpulkan adalah kesia-siaan belaka". Pembicaraan petang itu ditutup saat samar-samar suara bocah belasan tahun mengumandangkan adzan magrib di arah barat. 

Matahari telah kembali keperaduannya menyinari belahan dunia yang lain. Nyamuk penghisap darah terbang mencari mangsa. Burung-burung pulang dalam perut kenyang kesarang mereka. Lentera mulai dinyalakan di rumah yang tak diterangi listrik. Kedua suami istri itu meninggalkan beranda dan masuk ke dalam gubuk mereka. Kulin terlebih dahulu disusul Minah yang menenteng gelas berisi ampas kopi yang isinya telah tandas di kerongkongan sang suami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun