Menghidupkan Kembali Spirit Pendidikan Al-Zarnuji di Era Modern
Ketika pendidikan di era modern semakin berorientasi pada hasil, ranking, dan sertifikasi, kita seakan lupa bahwa tujuan utama pendidikan sejatinya adalah pembentukan manusia yang beradab. Dalam konteks inilah, pemikiran Al-Zarnuji dalam kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariq at-Ta'allum kembali terasa relevan untuk dihidupkan. Karya klasik ini tidak hanya berbicara tentang bagaimana cara belajar, tetapi lebih dalam --- ia berbicara tentang bagaimana membentuk jiwa seorang penuntut ilmu agar ilmu yang dipelajari membawa manfaat dan keberkahan.
Al-Zarnuji hidup di abad ke-12, masa di mana ilmu pengetahuan Islam berkembang pesat. Namun, beliau melihat bahwa banyak penuntut ilmu yang gagal mencapai keberhasilan karena kehilangan niat dan adab. Dari situlah ia menulis Ta'lim al-Muta'allim, sebuah panduan spiritual dan moral bagi pelajar agar menuntut ilmu dengan cara yang benar. Menurut Al-Zarnuji, inti pendidikan Islam terletak pada adab --- bukan semata pada kecerdasan intelektual. Ilmu tanpa adab ibarat pohon tanpa buah: hidup, tetapi tidak memberi manfaat.
Pandangan ini terasa kontras dengan realitas pendidikan saat ini. Banyak pelajar berambisi meraih nilai tinggi, tetapi lupa tujuan sejatinya: menjadi manusia yang berguna. Hubungan antara guru dan murid pun mulai kehilangan makna spiritualnya. Guru dipandang sebagai penyampai materi, bukan pembimbing ruhani. Padahal, dalam pandangan Al-Zarnuji, guru adalah wasilah (perantara) yang mengantarkan murid kepada cahaya ilmu. Murid wajib menghormatinya, bersikap rendah hati, dan menjaga tutur kata di hadapan sang guru.
Nilai-nilai seperti tawadhu', kesabaran, dan keikhlasan yang diajarkan Al-Zarnuji seharusnya menjadi pondasi pendidikan karakter hari ini. Ketika pelajar dibiasakan untuk menghargai guru, menghormati teman, dan menahan hawa nafsu, maka pendidikan tidak hanya mencetak orang pandai, tetapi juga manusia yang berakhlak. Dalam konteks Indonesia, gagasan ini sejalan dengan semangat Profil Pelajar Pancasila yang menekankan religiusitas, kemandirian, dan gotong royong.
Menariknya, Al-Zarnuji juga menyoroti pentingnya niat yang lurus dalam belajar. Ia menegaskan bahwa menuntut ilmu harus diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat bagi umat. Jika niat itu tercampur dengan ambisi duniawi seperti mencari popularitas atau kekayaan, maka ilmu tersebut tidak akan membawa keberkahan. Prinsip ini penting untuk direnungkan di tengah era digital yang serba kompetitif, di mana pendidikan sering kali dijadikan ajang prestise dan gengsi sosial.
Pemikiran Al-Zarnuji tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga solutif. Ia menekankan metode belajar yang sistematis: mulai dari memilih guru yang saleh, menjaga waktu belajar, mengulang pelajaran, dan berdoa untuk memperoleh kemudahan ilmu. Semua itu menunjukkan bahwa pendidikan Islam sejatinya adalah perpaduan antara usaha intelektual dan spiritual. Ilmu tidak hanya dicari dengan kerja keras, tetapi juga dengan hati yang bersih.
Jika nilai-nilai Al-Zarnuji diinternalisasi dalam sistem pendidikan modern, maka pendidikan kita akan lebih manusiawi. Guru tidak sekadar pengajar, tetapi pembimbing moral. Murid tidak sekadar penerima ilmu, tetapi penempuh jalan menuju kearifan. Di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi, spirit pendidikan Al-Zarnuji mengingatkan kita bahwa esensi ilmu bukanlah pada seberapa tinggi gelar seseorang, tetapi seberapa besar manfaat yang ia bawa bagi sesama.
Kesimpulan
Pemikiran Al-Zarnuji mengandung pesan abadi bahwa ilmu dan adab tidak dapat dipisahkan. Dalam situasi pendidikan masa kini yang cenderung menekankan aspek kognitif semata, nilai-nilai seperti niat yang ikhlas, penghormatan kepada guru, dan pembentukan akhlak harus kembali menjadi prioritas. Pendidikan yang berakar pada moral dan spiritualitas sebagaimana diajarkan Al-Zarnuji akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan kuat secara spiritual.