Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Protes Guru Besar, Respon Pendukung Jokowi versus Suara Kampus

8 Februari 2024   20:32 Diperbarui: 8 Februari 2024   20:33 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam satu minggu terakhir, gelombang protes dan kritik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin membesar dan meluas. Protes dan kritik ini datang dari kalangan akademisi, terutama para guru besar, dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Mereka menilai bahwa Jokowi telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi, netralitas, dan moralitas dengan cawe-cawe atau ikut campur dalam proses pemilihan presiden 2024.

Protes dan kritik ini diawali oleh Petisi Bulaksumur yang dikeluarkan oleh civitas academica Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 31 Januari 2024. Petisi ini berisi tuntutan dan kritik terhadap sikap dan kebijakan Jokowi dalam menyikapi Pemilu 2024. Petisi ini juga menyoroti adanya tindakan-tindakan menyimpang yang terjadi di masa pemerintahan Jokowi, seperti pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, keterlibatan aparat penegak hukum dalam proses demokrasi, dan pernyataan kontradiktif Jokowi tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik.

Petisi ini kemudian diikuti oleh pernyataan sikap serupa dari berbagai perguruan tinggi lainnya, seperti Universitas Indonesia, Universitas Islam Indonesia, Universitas Andalas, Universitas Padjadjaran, dan sebagainya. Menurut salah satu sumber berita, sudah lebih dari 20 kampus yang menyatakan kritik terhadap Jokowi dan meminta agar ia menghormati proses demokrasi yang berjalan. Pernyataan sikap ini juga disertai dengan aksi-aksi protes di beberapa kampus, seperti menyanyikan lagu-lagu perjuangan, membentangkan spanduk, dan menggelar diskusi publik.

Protes dan kritik ini tidak hanya datang dari para guru besar, tetapi juga dari para mahasiswa. Sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta mulai bergerak untuk menuntut pemakzulan Jokowi. Mereka menyerukan boikot partai politik yang tidak mendukung pemakzulan Presiden, mendesak para menteri untuk mundur dari kabinet pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, dan mengajak seluruh mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia menyelenggarakan protes sampai Presiden Jokowi dimakzulkan.

Protes dan kritik ini mendapat respons yang berbeda dari para pendukung Jokowi. Beberapa politisi yang mendukung Jokowi, seperti Ari Dwipayana, Bahlil Lahadalia, dan Airlangga Hartarto, menuding bahwa suara kampus tersebut memiliki motif politik dan elektoral, serta mencoba menggoyahkan legitimasi pemerintahan Jokowi. Mereka juga menilai bahwa suara kampus tersebut tidak representatif dan tidak berdasarkan fakta. Namun, beberapa politisi yang berseberangan dengan Jokowi, seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Hasto Kristiyanto, mengapresiasi dan mendukung suara kampus tersebut. Mereka menilai bahwa suara kampus tersebut merupakan bentuk dari dinamika demokrasi dan kebebasan berpendapat yang harus dihargai. Mereka juga menantang Jokowi untuk segera mengubah sikapnya atau mengundurkan diri dari jabatannya.

Protes dan kritik ini juga mendapat perhatian dari seorang pakar hukum tata negara yang menilai bahwa gelombang protes akademisi bisa memicu krisis legitimasi pemerintahan Jokowi. Menurut pakar hukum tersebut, gelombang protes ini menunjukkan adanya ketidakpercayaan dan ketidakpuasan terhadap kinerja dan kredibilitas Jokowi sebagai pemimpin bangsa. Gelombang protes ini juga bisa berdampak pada stabilitas nasional dan keamanan negara, jika tidak segera ditangani dengan baik. Pakar hukum tersebut menyarankan agar Jokowi segera melakukan dialog dan komunikasi dengan para akademisi dan elemen masyarakat lainnya, serta menghormati proses demokrasi yang berjalan.

Selain dari para politisi dan pakar hukum, protes dan kritik ini juga mendapat tanggapan dari beberapa tokoh publik, seperti Fahri Hamzah dan Daniel. Fahri Hamzah, yang merupakan juru bicara TKN Prabowo-Gibran, mengkritik balik gelombang protes dan seruan para guru besar yang meminta netralitas Presiden Jokowi dalam Pemilu 2024. Fahri menuding aksi para guru besar itu ditumpangi kepentingan politik kubu lain. Dia mempertanyakan alasan para guru besar itu baru "turun gunung" sekarang ini menjelang masa pencoblosan. Dia juga mengecam sikap para guru besar itu sebagai kejam dan kasar. Daniel, yang merupakan seorang analis politik, juga menilai bahwa suara kampus tersebut hanyalah berupa orkestra elektabilitas menjelang pemilu. Dia mengatakan bahwa para akademisi tidak membicarakan hal-hal substantif, seperti program dan visi-misi calon presiden, tetapi hanya fokus pada tindakan Jokowi yang melanggar etika demokrasi dan hukum dengan cara merubah hukum dan peraturan sehingga sesuai keinginan politik.

Protes dan kritik ini merupakan salah satu contoh dari reaksi beberapa kalangan terhadap cawe-cawe Jokowi yang dianggap sudah di luar kepatutan. Beberapa pakar hukum dan politik juga mengkhawatirkan bahwa gelombang protes ini bisa memicu krisis legitimasi pemerintahan Jokowi dan mengganggu stabilitas nasional . Di sisi lain, ada juga yang menilai bahwa protes ini merupakan bentuk dari dinamika demokrasi dan kebebasan berpendapat yang harus dihargai .

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun