Mohon tunggu...
Aulia Amanda
Aulia Amanda Mohon Tunggu... Mahasiswa

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

BUDAYA LEMBUR TUGAS MAHASISWA: Normalisasi Atau Krisis Kesehatan Mental?

3 Oktober 2025   23:11 Diperbarui: 3 Oktober 2025   22:22 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jika kita berjalan menyusuri area kampus di malam hari, pemandangan mahasiswa yang masih sibuk di depan laptop, menumpuk kertas catatan, atau sekadar berlarian mengejar deadline bukanlah hal asing. Fenomena "lembur tugas" seakan menjadi identitas mahasiswa: begadang semalaman untuk menyelesaikan esai, laporan praktikum, atau persiapan presentasi. Anehnya, budaya ini sering dianggap wajar, bahkan dirayakan sebagai bukti ketangguhan. Namun, apakah normalisasi lembur tugas ini sebenarnya sedang menjerumuskan mahasiswa ke dalam krisis kesehatan mental yang tidak disadari?

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi gangguan mental emosional pada kelompok usia 15-24 tahun di Indonesia mencapai 9,8 persen. Angka ini menunjukkan hampir satu dari sepuluh anak muda mengalami tekanan psikologis serius. Kampus, sebagai ruang pendidikan yang idealnya membentuk karakter dan kreativitas, justru sering kali menjadi ladang subur bagi stres kronis akibat beban akademik. Ironisnya, banyak mahasiswa yang menganggap lembur adalah hal lumrah, bahkan tanda dedikasi.

Normalisasi lembur ini didorong oleh beberapa faktor. Pertama, sistem akademik yang padat. Mahasiswa sering menghadapi tumpukan tugas dari berbagai mata kuliah tanpa koordinasi antar dosen. Kedua, budaya "kejar nilai" yang menekankan hasil akhir dibandingkan proses belajar. Ketiga, gaya hidup mahasiswa yang cenderung multitasking-antara kuliah, organisasi, kerja paruh waktu, hingga aktivitas sosial-membuat manajemen waktu semakin kacau.

Lembur pun menjadi "jalan pintas" yang tak terhindarkan.

Namun, dampaknya tidak bisa diremehkan. Studi dari American College Health Association (2021) menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen mahasiswa melaporkan kesulitan tidur yang berhubungan langsung dengan performa akademik. Kekurangan tidur bukan hanya menurunkan konsentrasi dan daya ingat, tetapi juga meningkatkan risiko depresi dan kecemasan. Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi merusak kesehatan fisik, seperti melemahkan sistem imun hingga memicu penyakit kardiovaskular.

Lalu, mengapa budaya lembur tetap bertahan? Salah satunya karena adanya glorifikasi. Cerita tentang "all-nighter" atau begadang semalaman sering dibagikan di media sosial kampus, bahkan dianggap sebagai pengalaman khas mahasiswa. Hal ini menciptakan stigma: jika tidak ikut lembur, seseorang dianggap kurang berjuang atau kurang serius dalam studi.

Padahal, justru kemampuan mengatur waktu dan menjaga kesehatan mental seharusnya menjadi ukuran kedewasaan seorang mahasiswa.

Di titik inilah, kita perlu bertanya: apakah kampus telah cukup memperhatikan isu ini? Sayangnya, layanan konseling di banyak perguruan tinggi masih belum optimal, baik dari segi jumlah tenaga profesional maupun aksesibilitas. Mahasiswa yang ingin berkonsultasi sering kali terhalang birokrasi panjang atau bahkan merasa malu karena stigma terhadap isu kesehatan mental masih kuat.

Maka, solusi yang diperlukan bukan sekadar kampanye "jangan begadang" yang klise. Pertama, kampus perlu mendorong koordinasi antardosen agar beban tugas mahasiswa lebih proporsional. Kedua, mahasiswa perlu diberi literasi manajemen waktu dan keterampilan belajar efektif sejak awal masuk kuliah, bukan dibiarkan "survive sendiri". Ketiga, fasilitas konseling harus ditingkatkan, baik dalam bentuk layanan psikologis maupun ruang-ruang diskusi santai yang ramah mahasiswa.

Lebih dari itu, yang paling mendesak adalah perubahan budaya. Kita harus berani melawan glorifikasi lembur dan menggeser standar "mahasiswa berprestasi" dari sekadar sanggup mengerjakan banyak hal dalam waktu singkat, menuju mahasiswa yang mampu menyeimbangkan akademik, kesehatan, dan kehidupan sosial. Sebab, jika budaya lembur terus dinormalisasi, kita berisiko melahirkan generasi yang unggul di atas kertas, tetapi rapuh secara mental.

Mahasiswa memang identik dengan perjuangan, tetapi perjuangan itu tidak harus selalu dalam bentuk kantung mata hitam dan tubuh yang kelelahan. Justru, kampus seharusnya menjadi ruang tumbuh yang sehat, di mana belajar tidak berarti mengorbankan kesehatan mental. Pertanyaan besarnya kini adalah: apakah kita masih ingin mempertahankan budaya lembur ini sebagai warisan, atau berani menciptakan budaya baru yang lebih manusiawi?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun