Mohon tunggu...
Aulia Manaf
Aulia Manaf Mohon Tunggu... -

Terlahir di Pasuruan. Seorang pembelajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stop Generasi Penghibur, Munculkan Generasi Produktif

13 Januari 2014   08:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:53 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Catatan : Untuk menghormat Maulid Nabi Muhammad SAW

Baru saja bulan lalu kita memperingati Hari Ibu. Bertebaran sanjung puji buat Ibunda di mana-mana. Banyak lomba-lomba membuat puisi buat Ibu, lomba membuat surat dan berjuta kata-kata manis buat ibu di media-media sosial. Tapi apa yang terjadi saat ini? Tayangan di televisi sungguh miris . Banyak ibu-ibu yang berjoget dengan asyiknya. Bahkan mereka rata-rata berjilbab dan berdandan heboh. Penulis malu sendiri melihat tayangan tersebut. Saya bertanya dalam hati , “Apakah ini yang disebut ibu-ibu teladan bagi anak-anaknya? Apakah ini yang dibilang ibu-ibu gaul?”.

Generasi Penghibur

Anak-anak berjoget dengan gaya yang lucu. Meniru joget caesar yang sekarang sedang trend. Apakah ada yang salah dengan gaya joget mereka? Kelihatannya memang lucu, unik dan membuat orang tertawa kala melihatnya. Sebenarnya tidak ada yang salah ketika para entertainer tersebut berjoget. Tapi bagaimana ketika anak-anak SD tersebut berjoget dengan dengan diiming-imingi hadiah bagi yang jogetnya paling yahud? Mereka berlomba-lomba menghafal gerak tarian caesar. Setelah itu ibu-ibu mereka mendaftarkan anak mereka untuk ikut lomba joget. Hasilnya adalah, anak-anak menganggap mudah sekali mendapatkan hadiah. Dengan berjoget saja, nampang di televisi , sudah mendapatkan banyak hadiah. Dengan senang hati mereka menari dan penonton banyak yang tertawa-tawa. Yang juga memprihatinkan adalah, setelah anak-anak berjoget, giliran orang dewasa (perempuan) menggerakkan tubuhnya yang dibalut pakaian seksi dan ketat. Apakah maksud dari tayangan yang sedang menuai protes ini? Anak-anak menonton ibu-ibu dan perempuan muda yang berjoget dengan lihainya. Sedangkan para lelaki dengan mata liarnya sangat menikmati tontonan yang ada di depannya. Mata-mata buas yang mengerikan. Banggakah kita dengan anak-anak generasi penghibur? Mereka hanya menonton lalu meniru apa yang ditontonnya. Bukan generasi produktif yang mempunyai ide kreatif untuk kemaslahatan masyarakat dan lingkungannya.

Generasi Narsis

Tak bisa dipungkiri bahwa media sosial memicu generasi narsis dimana-mana.Teknologi memudahkan kita mengakses internet murah dan cepat. Dan Indonesia sekarang sudah duduk di peringkat pertama dunia dalam ikut serta menyemarakkan media sosial Facebook. Siapa pun bisa berinteraksi dengan media sosial tersebut. Mulai ibu rumah tangga, pekerja, pejabat, politikus bahkan pelajar dan anak-anak. Semua tidak asing dengan dunia maya yang sedang trend itu. Dampaknya , semua orang bisa mendapatkan hiburan, informasi dan segala barang yang dibutuhkan. Lalu apa hubungannya dengan anak-anak kita? Moment apa pun bisa dipublikasikan di media sosial. Jadi semakin sering ada event, semakin sering foto , semakin sering upload , jadi semakin banyak mendapat komentar dan akan semakin terkenal. Dan lihatlah , betapa meriahnya media sosial kita. Penuh dengan foto-foto narsis remaja alay, sampai ibu-ibu dengan kesibukannya yang turut meramaikan event-event promosi produk. Semua berlomba mendapatkan ketenaran dengan berbagai cara. Bahkan sampai mengorbankan urat malu.

Generasi Produktif

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan anak-anak yang suka berjoget. Malah para remaja di Jakarta , menjadikan hobinya berjoget bisa mendapatkan penghasilan. Mereka menjadi penonton yang meramaikan sebuah acara musik televisi. Sekali masuk studio, mereka di bayar 25 ribu sampai 30 ribu, selama satu jam. Bayangkan dalam satu bulan mereka mendapatkan 750 ribu. Itu hanya satu acara televisi. Dalam satu hari, kadang mereka berpindah studio siaran. Bayangkan kalau mereka menjalani syuting di tiga tempat yang berbeda. Berapa duit yang sudah mereka kantongi . Mencapai Rp.2.250.000,-. Mereka hanya berjoget dengan arahan sang koreografer. Kelihatannya sangat mudah mencari uang di Jakarta. Tapi yang paling jenius , tentu saja makelar dari remaja tersebut. Puluhan juta dia kantongi dalam satu bulan.

Coba kita tengok, ribuan anak muda berjajar antri untuk mendapatkan kesempatan bernyanyi dan mendapatkan Golden Ticket di Indonesian Idol. Ini menandakan generasi muda Indonesia banyak yang punya mimpi menjadi entertainer. Bakat bernyanyi memang akan teruji di sana. Tidak ada yang salah. Karena semua akan ada risikonya. Industri musik dan tari akan menjadi magnet tersendiri untuk remaja. Karena menjanjikan gemerlap dunia.

Akankah kita biarkan semua anak Indonesia masuk dalam dunia hiburan? Bisakah kita mengarahkan mereka menjadi generasi yang produktif? Generasi yang lebih selektif memilih program yang bermanfaat untuk masa depan mereka? Jangan sampai yang ada dalam otak mereka hanyalah dunia hiburan yang bisa mendatangkan banyak uang. Dunia hedonis yang bisa merontokkan urat malu mereka. Padahal dalam agama kita sudah disebutkan bahwa malu sebagian dari iman. Lalu, kemana malu mereka, ketika para ibu dan anak-anak sudah tidak menghiraukan malu dan bertingkah yang tiada batas?

Tahun baru 2014, sudah saatnya menjadi tahun yang produktif. Remaja kita harus aktif dalam kegiatan yang bermanfaat. Bukan generasi yang instan tanpa tujuan. Media sosial yang ada, bisa kita manfaatkan dengan cara memamerkan karya-karya nyata. Bukan hanya berisi foto-foto narsis. Bisa dengan cara latihan berdagang mempunyai toko online, berkarya dengan menulis atau dengan aktif mengikuti tantangan-tantangan lain seprti kuis yang menarik di situs-situs tertentu. Cara seperti ini tentu lebih menarik dan kreatif daripada sekedar berjoget dan mendapat uang.

Jadi , sebagai orangtua tinggal kita memilih. Mau mencetak generasi yang narsis atau generasi yang produktif. Generasi penghibur, kebanyakan sudah samar-samar jiwa malunya. Sedangkan generasi produktif, selalu solutif. Tidak bosan melakukan apa yang menarik baginya demi kemanfaatan untuk orang lain dan lingkungan sekitar. Mereka rela mengorbankan waktu dan tenanganya , kadang malah di remehkan demi kehidupan yang lebih baik.

Dalam rangka Maulid Nabi Muhammad SAW, sudah saatnya kembali muhasabah –introspeksi diri. Apakah kita masih punya urat malu? Apakah sebagai orangtua kita masih mau menjadi tontonan dan hiburan untuk orang lain? Kecuali para pelawak yang memang manjadi mata pencaharian utama mereka. Kita bukan pelawak, kita adalah panutan anak-anak yang merindukan kasih sayang, bukan ibu-ibu mereka yang menjadi tontonan banyak orang dengan berjoget tanpa merasa bersalah.

Wallahua'lam. Selamat Bersholawat Nabi .

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun