Sejarah hukum Islam, dalam narasi yang seringkali dominan, cenderung menampilkan sosok laki-laki sebagai aktor utama, mulai dari para fuqaha (ahli hukum), qadi (hakim), hingga penguasa yang mengeluarkan kebijakan hukum. Namun, konstruksi sejarah yang demikian berpotensi menyisakan ruang kosong, menghilangkan jejak peran signifikan yang dimainkan oleh kaum perempuan dalam pembentukan, perkembangan, dan praktik hukum Islam. Diskursus mengenai perempuan dalam hukum Islam kontemporer seringkali berkutat pada isu-isu pembatasan dan ketidakadilan. Padahal, menelusuri lebih jauh ke dalam lintasan sejarah mengungkapkan sebuah realitas yang lebih kompleks dan beragam. Artikel opini ini bertujuan untuk menguak dimensi yang terlupakan dari keterlibatan perempuan dalam sejarah hukum Islam. Melalui penelusuran berbagai sumber dan perspektif, tulisan ini akan mengeksplorasi bagaimana perempuan, di tengah berbagai batasan sosial dan kultural pada masanya, ternyata tidak hanya menjadi objek hukum, tetapi juga memiliki kontribusi aktif dalam tradisi keilmuan, praktik hukum, dan bahkan pembentukan norma-norma dalam masyarakat Muslim. Dengan memahami peran historis ini secara lebih utuh, kita dapat memperoleh perspektif yang lebih adil dan komprehensif dalam membaca dan merekonstruksi sejarah hukum Islam, serta menarik pelajaran berharga untuk diskursus hukum Islam kontemporer yang lebih inklusif.
Narasi sejarah hukum Islam seringkali didominasi oleh figur laki-laki, menciptakan kesan bahwa perempuan hanyalah objek pasif dari aturan-aturan yang ditetapkan. Pandangan ini diperkuat oleh interpretasi tekstual tertentu dan konstruksi sosial patriarkal yang mewarnai berbagai periode sejarah Islam. Pembatasan-pembatasan seperti larangan menjadi hakim atau imam salat bagi laki-laki, aturan waris yang tampak tidak setara, dan ketentuan mengenai kesaksian dalam pengadilan menjadi contoh yang seringkali dikemukakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa teks-teks keagamaan dan praktik sosial pada masa lalu memang mengandung elemen-elemen yang membatasi ruang gerak perempuan dalam ranah publik dan hukum.
Namun, jika kita menelisik lebih dalam melampaui narasi dominan, jejak-jejak kontribusi signifikan perempuan dalam sejarah hukum Islam mulai terkuak. Salah satu area penting adalah dalam transmisi hadis. Banyak perempuan di masa awal Islam dikenal sebagai periwayat hadis yang terpercaya dan memiliki otoritas keilmuan yang diakui oleh para ulama laki-laki. Nama-nama seperti Aisyah binti Abu Bakar RA menjadi contoh ikonik. Pengetahuan mendalam Aisyah tentang hukum Islam dan kapasitasnya dalam memberikan fatwa menjadikannya rujukan penting bagi para sahabat dan generasi setelahnya. Keberadaan para muhaddithat (perempuan ahli hadis) menunjukkan bahwa perempuan memiliki akses terhadap ilmu keagamaan dan aktif dalam menyebarkannya, yang secara tidak langsung memengaruhi pemahaman dan praktik hukum Islam.
Lebih lanjut, peran perempuan tidak terbatas hanya pada transmisi ilmu. Dalam praktik hukum di tingkat masyarakat, perempuan juga memiliki andil yang signifikan. Meskipun tidak secara formal menduduki posisi hakim, perempuan seringkali menjadi mediator dalam sengketa keluarga dan komunitas. Pengetahuan mereka tentang adat, tradisi, dan prinsip-prinsip keadilan Islam memungkinkan mereka untuk memainkan peran penting dalam menyelesaikan perselisihan secara damai. Catatan-catatan sejarah lokal dan studi antropologis menunjukkan bagaimana perempuan memiliki pengaruh dalam membentuk norma-norma sosial dan praktik hukum di tingkat akar rumput.
Selain itu, kontribusi perempuan juga terlihat dalam pendirian dan pengelolaan lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan. Banyak perempuan kaya dan terpelajar mewakafkan harta mereka untuk pembangunan masjid, madrasah, dan tempat-tempat belajar lainnya. Mereka juga aktif dalam menyelenggarakan majelis-majelis ilmu di rumah mereka, menjadi patron bagi para ulama dan pelajar. Tindakan ini secara tidak langsung berkontribusi pada perkembangan intelektual dan penyebaran pengetahuan hukum Islam.
Penting untuk dicatat bahwa pengalaman dan peran perempuan dalam sejarah hukum Islam tidaklah monolitik. Status sosial, tingkat pendidikan, dan konteks geografis memengaruhi sejauh mana perempuan dapat berpartisipasi dalam ranah publik dan hukum. Namun, dengan menggali sumber-sumber sejarah yang beragam -- termasuk catatan biografi, karya-karya fikih yang mencantumkan pendapat perempuan, dokumen-dokumen wakaf, dan studi-studi sosial -- kita dapat merekonstruksi gambaran yang lebih kaya dan akurat tentang peran perempuan yang seringkali terpinggirkan.
Mengakui dan memahami kontribusi historis perempuan dalam hukum Islam bukan hanya sekadar upaya untuk melengkapi catatan sejarah. Lebih dari itu, pemahaman ini dapat memberikan perspektif baru dalam menghadapi isu-isu hukum Islam kontemporer yang berkaitan dengan perempuan. Dengan menyadari bahwa perempuan bukanlah entitas yang pasif dalam sejarah hukum Islam, kita dapat membangun argumen yang lebih kuat untuk partisipasi dan kesetaraan perempuan dalam ranah hukum dan publik saat ini. Warisan kontribusi perempuan di masa lalu dapat menjadi inspirasi dan landasan untuk mewujudkan tatanan hukum yang lebih adil dan inklusif bagi semua.
Menelusuri sejarah hukum Islam dengan lensa yang lebih inklusif membuka mata kita pada realitas yang lebih kaya dan kompleks mengenai peran perempuan. Di balik narasi dominan tentang pembatasan, tersembunyi jejak-jejak kontribusi signifikan perempuan sebagai periwayat hadis, penggerak praktik hukum di tingkat masyarakat, pendiri lembaga pendidikan, dan patron intelektual. Meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan struktural dan kultural, perempuan tidak hanya menjadi objek hukum, tetapi juga agen aktif yang turut mewarnai perkembangan tradisi hukum Islam.
Pengungkapan kembali peran perempuan dalam sejarah hukum Islam bukan sekadar latihan akademis, melainkan sebuah langkah penting menuju pemahaman yang lebih utuh dan adil tentang warisan intelektual dan sosial umat Islam. Dengan menghargai kontribusi mereka di masa lalu, kita dapat meruntuhkan pandangan simplistis yang hanya melihat perempuan sebagai pihak yang diatur. Lebih jauh lagi, pemahaman ini dapat menjadi sumber inspirasi dan legitimasi bagi perjuangan kesetaraan dan partisipasi perempuan dalam ranah hukum dan publik di masa kini.
Sejarah yang terlupakan ini mengajarkan kita bahwa keadilan dan inklusivitas bukanlah konsep asing dalam tradisi Islam. Justru, dengan menggali lebih dalam, kita menemukan preseden dan semangat yang mendukung partisipasi aktif semua anggota masyarakat, tanpa terkecuali. Oleh karena itu, rekonstruksi sejarah hukum Islam yang mengakui peran perempuan secara utuh bukan hanya menjadi keharusan akademis, tetapi juga imperatif etis untuk membangun masa depan hukum Islam yang lebih adil dan berpihak pada kemanusiaan secara keseluruhan. Marilah kita terus menggali, belajar, dan merayakan kontribusi yang terlupakan ini demi mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI