Melihat itu, para pemuda dan tua-tua yang menolak tambang dengan segera berlari ke rumah masing-masing, mengambil panah, kope lewe, dan korung, untuk berjaga-jaga jika ada ancaman dan serangan dari orang-orang PT. Mereka pun menghadang mobil-mobil itu.
 "Mana Bertus?", Seorang pria berkaca mata hitam, turun dan menanyai warga.
"Bertus tidak ada, dia menghilang tadi subuh" Sipri yang berdiri paling depan menjawab. Di pinggangnya diikat kope lewe dengan sarung.
"Ah,... sial... Kita ditipu". Seorang dari orang-orang PT berkomentar. Tanpa berpikir panjang, mereka masuk lagi ke dalam mobil dan melajukan kendaraan, menjauhi kampung Satar Lolok.
"Gara-gara batu dan Bertus, kita tidak bisa hidup tenang". Cetus warga, melihat orang-orang PT pergi dan melangkah ke rumah masing-masing.
Kata-kata bahasa Manggarai:
Toe ngance todo apa-apa nitu: tidak bisa tumbuh apa-apa di situ.
Konem weri sampe ngger wa ulu, toe keta kin: biar tanam sampai kepala ke bawah, tidak akan bisa.
Bancik: alat kerja seperti skop, tapi berbentuk persegi panjang
Ceki-ceki: arwah leluhur
Compang: tugu/altar persembahan
Golo : bukit/gunung
Golo Lolok: bukit/gunung bernama Lolok
Kope : parang
Kope Lewe: Parang panjang
Korung: tombak
Lingko: tanah ulayat
Mbaru Gendang: rumah adat Manggarai
Natas : halaman/lapangan
Nia hau Bertus? : Kamu di mana Bertus?
Satar Lolok: nama kampung/
Teing hang: kasih makan nenek moyak
Wae pesi: nama sungai di Reo, yang membatasi Kab. Manggarai dan Manggarai Timur
cerpen ini juga tayang di laman piramida.id