Mohon tunggu...
Fuad Mahbub Siraj
Fuad Mahbub Siraj Mohon Tunggu... -

Lecturer at Paramadina University\r\nPhilosophy and Religion Department

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

FILOSOFI MASYARAKAT ISLAM MELAYU SEBAGAI BAHAGIAN EXSISTENSI FILSAFAT INDONESIA

19 Juni 2013   14:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:45 2888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ada sebuah pertanyaan klasik yang muncul ketika membicarakan persoalan filsafat, yakni kapankah filsafat itu muncul?. Ketika manusia ada maka manusia sudah mulai berfilsafat, tetapi pada saat itu filsafat belum menjadi sebuah ilmu melainkan masih dalam tahap pengetahuan karena filsafat di sini diartikan sebagai proses berpikir. Dari tahap pengetahuan filsafat berkembang menjadi sebuah ilmu yang sistimatis yang membantu manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu-ilmu lain dan filsafat sendiri kemudian memasuki ranah mindset manusia dalam mencari segala sesuatu yang mereka sebut dengan kebenaran dengan menggunakan sistimatis berpikir dari filsafat itu sendiri.

Proses tersebut senada dengan lahirnya filsafat Indonesia, dimana secara prinsipnya masyarakat Indonesia sudah berfilsafat sejak masa leluhur dahulu ketika kebudayaan dan adat menjadi kebutuhan di kalangan masyarakat Indonesia. Baru sekitar tahun 1960-an, wacana dan istilah filsafat Indonesia mulai didendangkan oleh beberapa orang pemikir Indonesia itu sendiri dan defenisi pun mulai dirumuskan. Masing-masing pemikir mempunyai penekanan yang berbeda dalam mendefenisikan filsafat Indonesia itu sendiri. M. Nasroen sebagai seorang pemikir besar yang mungkin bisa disebut sebagai pencetus awal munculnya filsafat Indonesia mencoba memberikan defenisi bahwa filsafat Indonesia bukanlah Barat dan bukan pula Timur. Jika kita menganalisa ini apa yang disebut oleh Nasroen cukup bisa diterima karena setiap mazhab dalam filsafat mempunyai karakteristik tersendiri dan karakteristik tersebut yang membedakan antara satu dengan yang lainnya termasuk Indonesia dimana budaya, etnik, agama serta adat adalah karakteristik dari filsafat Indonesia. Parmono memberikan defenisi bahwa filsafat Indonesia merupakan pemikiran primordial-pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya (Jakob Sumardjo 2003:116). Penulis lebih memberikan penekanan bahwa filsafat Indonesia merupakan sebuah upaya spekulatifdalam menampilkan pandangan yang sistematik dan komplik tentang seluruh realita mengenai ke-Indonesian. Penulis cukup sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Ferry Hidayat,bahwa filsafat Indonesia tidak membatasi diri hanya pada persoalan etnik saja melainkan juga kepada persoalan lainnya yang menyangkut tradisi atau pengaruh filosofis asing. Tidak hanya itu, lebih jauh penulis ingin menekankan bahwa kajian filosofis terhadap filsafat Indonesia mampu melihat titik kelemahan sebuah tradisi sehingga dapat membawa kepada perubahan yang lebih baik menuju masyarakat yang dinamis. Pembicaraan mengenai struktur filsafat Indonesia, unsur-unsurnya serta mazhab-mazhab dan lain sebagainya mungkin sudah banyak dibahas oleh para ilmuan dan pemikir Indonesia, oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis ingin melihat bagaimana filosofi masyarakat Islam melayu yang merupakan bahagian dari eksistensi filsafat Indonesia itu sendiri. Masyarakat melayu adalah bahagian dari masyarakat Indonesia dan budaya masyarakat melayu juga merupakan bahagian dari budaya Indonesia maka filosofi masyarakat melayu juga merupakan bahagian dari filsafat Indonesia. Penulis ingin mendekati persoalan ini dengan pendekatan kategorisasi dari filsafat Indonesia itu sendiri dimana filsafat Indonesia mengkategorikan mazhab kepada tiga hal yakni, pertama didasarkan pada segi keaslian yang dikandung suatu mazhab filsafat tertentu (seperti pada mazhab etnik); kedua, pada segi pengaruh yang diterima oleh suatu mazhab filsafat tertentu (seperti mazhab Tiongkok, mazhab India, mazhab Islam, mazhab Kristiani, dan mazhab Barat), dan ketiga, didasarkan pada kronologi historis (seperti mazhab paska-Soeharto).

Melayu Sebagai Kumpulan Etnik

Masyarakat terbentuk oleh kebudayaan yang mereka ciptakan sendiri terutama berdasarkan kemampuan fikir (akal)Berkat kemampuan pikir (akal) manusia dengan berkomunikasi lewat bahasa mereka inilah mereka menciptakan kebudayaan, baik dilakukan secara sadar maupun secara tidak sadar.

Clifford Geertz dalam bukunya The Interpretation of Cultures, menjelaskan, bahwa manusia merupakan makhluk yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri, kebudayaan adalah jaringan-jaringan makna tersebut (Clifford Geertz, 1975:5). Substansi kebudayaan itu berupa norma dan nilai yang terbentuk ke dalam suatu sistem, yaitu berupa sistem nilai dan norma (pengetahuan) yang terorganisasi sebagai pegangan bagi  masyarakatnya untuk berperilaku waja (Paul B. Horton dan  Hunt Chester L, 1991:59; Amri Marzali, 1997:xix).  Sebagai manusia yang berkebudayaan pastilah budaya yang diwarisi saat ini merupakan suatu bentuk yang lahir melalui proses panjang jauh sejak masa lampau.

Ketika kita coba untuk melihat istilah orang melayu maka sebenarnya apa yang disebut orang Melayu bukanlah suatu komunitas etnik atau sukubangsa sebagaimana dimengerti banyak orang dewasa ini. Ia sebenarnya mirip dengan bangsa atau kumpulan etnik-etnik serumpun yang menganut agama yang sama dan menggunakan bahasa yang sama. Kedalamnya melebur pula penduduk keturunan asing seperti Arab, Persia, Cina dan India, di samping keturunan dari etnik Nusantara lain. Semua itu dapat terjadi karena selain mereka hidup lama bersama orang Melayu, karena juga memeluk agama yang sama serta menggunakan bahasa Melayu dalam penuturan sehari-hari. Inilah yang menyebabkan orang Melayu memiliki keunikan tersendiri dibanding misalnya orang Jawa atau Sunda.

Etnik-etnik serumpun lain pada umumnya menempati suatu daerah tertentu. Tetapi orang Melayu tidak demikian, mereka tinggal di beberapa wilayah yang terpisah, bahkan di antaranya saling berjauhan. Namun di mana pun berada, bahasa dan agama mereka sama, Melayu dan Islam, atau dengan kata lain melayu identik dengan Islam, bahkan orang melayu tidak mau disebut tidak Islam.Adat istiadat mereka juga relatif sama, karena didasarkan atas asas agama dan budaya yang sama. Karena itu tidak mengherankan apabila kemelayuan identik dengan Islam, dan kesusastraan Melayu identik pula dengan kesusastraan Islam. Bagi mereka yang tidak mengetahui latar belakang sejarahnya fenomena ini tidak mudah dipahami. Untuk itu uraian tentang sejarahnya sangat diperlukan

Islam dan Kepulauan Melayu

Masuk dan berkembang pesatnya agama Islam di Indonesia pada abad ke-13-17 M memunculkan banyak pendapat yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan. Khususnya tentang darimana agama ini datang dan siapa yang membawanya masuk. Begitu pula mengenai saluran-saluran komunikasi yang digunakan sehingga memungkinkan agama ini diterima secara luas oleh penduduk Nusantara dalam waktu yang relatif singkat. Semula diduga bahwa yang membawa dan memperkenalkan agama ini di kawasan ini ialah pedagang-pedagang dari Gujarat, India. Sejak itu perdagangan dipandang sebagai saluran utama bagi pesatnya perkembangan Islam di kepulauan Nusantara. Tetapi penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa faktornya sangat kompleks. Sebelum berkembang pesat, Islam harus menempuh jalan yang berliku-liku dan rumit serta panjang, dan faktornya bukan hanya perdagangan semata-mata.

Bukti-bukti yang lebih absah seperti berita-berita Arab, Persia, Turki, dan teks-teks sejarah lokal memperkuat keterangan bahwa Islam hadir di kepulauan Nusantara dibawa langsung dari negeri asalnya oleh pedagang-pedagang Arab, Persia dan Turki. Gujarat dan bandar-bandar lain di India seperti Malabar dan Koromandel hanyalah tempat persinggahan saja sebelum mereka melanjutkan pelayaran ke Asia Tenggara dan Timur Jauh. Pada abad ke-12 dan 13 M, disebabkan banyaknya kekacauan dan peperangan di Timur Tengah termasuk Perang Salib, mendorong penduduk Timur Tengah semakin ramai melakukan kegiatan pelayaran ke Asia Tenggara (Hasan Muarif Ambary 1998; Azyumardi Azra 1999).

Faktor yang turut menentukan bagi bertambah ramainya kegiatan perdagangan bangsa Arab dan Persia di Asia Tenggara ialah invasi beruntun bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan ke negeri-negeri Islam sejak tahun 1220 M yang berakhir dengan jatuhnya kekhalifahan Baghdad pada 1258 M. Peristiwa ini mendorong terjadinya gelombang perpindahan besar-besaran kaum Muslimin ke India dan ke Asia Tenggara. Bersama mereka hadir pula sejumlah besar faqir dan sufi pengembara dengan pengikut tariqat yang mereka pimpin (John 1961; Ismail L. Faruqi 1992).

Kepulauan Melayu merupakan gerbang masuk terdepan bagi pelayaran ke timur. Karenanyatidak heran jika kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Samudra Pasai (1270-1514 M) dan Malaka (1400-1511 M) muncul di sini. Kerajaan-kerajaan ini tumbuh dari pelabuhan atau bandar dagang, dan menjadi kerajaan Islam setelah rajanya memeluk agama Islam. Dengan munculnya kerajaan-kerajaan ini maka perlembagaan Islam, termasuk lembaga pendidikan, dapat didirikan. Semua itulah yang memungkin penyebaran agama Islam dan transformasi budayanya dapat dilakukan.

Faktor lain bagi pesatnya perkembangsan Islam ialah mundurnya perkembangan agama Hindu dan Buddha, mengikuti surutnya kerajaan Hindu dan Buddha yang diikuti oleh mundurnya peranan politiknya. Abad ke-13 M ketika agama Islam mulai berkembang pesat di kepulauan Melayu, sebagai contoh, ditandai dengan mundurnya kerajaan Sriwijaya atau Swarnabhumi. Pusat imperium Buddhis di Nusantara ini mulai mengalami kemunduran disebabkan ronngrongan dua kerajaan Hindu Jawa – Kediri dan Singasari – disusul dengan krisis ekonomi yang membelitnya. Seabad berikutnya negeri ini dua kali diserbu Majapahit, sebuah imperium Hindu yang mulai bangkit di Jawa Timur. Serbuan terakhir pada penghujung abad ke-14 M menyebabkan negeri itu hancur dan tamat riwayatnya (Wolter 1970).

Mundurnya kerajaan Sriwijaya menyebabkan daerah-daerah taklukannya melepaskan diri dan muncul menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka. Di antaranya ialah Lamuri, Aru, Pedir, Samalangga dan Samudra di pantai timur, dan Barus di pantai barat. Menjelang akhir abad ke-13 M, kerajaan-kerajaan kecil itu berhasil dipersatukan dan bergabung di bawah imperium baru, Samudra Pasai. Setelah rajanya yang pertama, Meura Silu memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Malik al-Saleh, kerajaan ini berubah menjadi kerajaan Islam. Pada tahun 1340 M Sriwijaya diserbu oleh Majapahit yang menjadikan negeri itu semakin lemah dan kehilangan pamor. Sebaliknya Samudra Pasai, walaupun juga digempur oleh Majapahit dan banyak sekali harta kerajaan itu yang dirampas, masih dapat melanjutkan eksistensinya sebagai bandar dagang utama di Selat Malaka.

Pada tahun 1390 M raja terakhir Sriwijaya, Paramesywara yang masih muda, berhasrat memulihkan kedaulatan negerinya. Lantas ia memaklumkan diri sebagai titisan (avatara) Boddhisatwa. Ini membuat murka penguasa Majapahit. Ibukota Sriwijaya lantas diserbu sekali lagi dan kali ini dihancurleburkan. Bersama ratusan sanak keluarga, karib kerabat, pendeta dan pegawainya, Paramesywara berhasil melarikan diri. Mula-mula ke Temasik, Singapura sekarang, dan akhirnya ke Malaka di mana dia mendirikan kerajaan baru. Karena letaknya yang strategis, Malaka segera berkembang menjadi bandar dagang regional yang penting di Selat Malaka.Pada tahun 1411 M, Paramesywara memeluk agama Islam setelah menikah dengan putri Raja Pasai. Maka negerinya muncul menjadi kerajaan Islam baru kedua setelah Samudra Pasai (Wolter 1970).

Begitulah sejarah awal pesatnya perkembangan agama Islam di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama Buddha yang hadir sebagai agama elite aristokratik, walaupun dipeluk juga oleh masyarakat di luar istana dan vihara, tetapi budaya baca tulis dan tradisi intelektualnya tidak meluas ke tengah masyarakat. Sebab pendidikan diperuntukkan hanya untuk kaum bangsawan. Islam hadir sebagai agama egaliter dan populis. Agama ini tidak mengenal sistem kasta dan kependetaan, dan karenanya memungkinkan keterlibatan segenap lapisan masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan, termasuk dalam pendidikan dan intelektual. Lembaga pendidikan Islam sejak awal dibuka untuk segenap lapisan masyarakat dan golongan. Lagi pula Islam adalah agama kitab. Belajar menulis dan membaca diwajibkan bagi seluruh pemeluknya. Demikianlah, dengan berkembangnya Islam membuat tradisi keterpelajaran lambat laun juga berkembang.

Karena itu, menurut al-Attas (1972), datangnya Islam menyebabkan kebangkitan rasional dan intelektual yang bercorak religius di Nusantara yang tidak pernah dialami sebelumnya. Kecuali itu Islam juga mendorong terjadinya perubahan besar dalam jiwa bangsa Melayu dan kebudayaannya. Islam menyuburkan kegiatan ilmu dan intelektual serta membebaskan mereka dari belenggu mitologi yang menguasai jiwa mereka sebelumnya. Hadirnya Islam membuka lembaran baru dan menyebabkan terjadinya proses perubahan sosial, ekonomi dan politik yang sangat mendasar (Kern 1917; Schrieke 1955). Lebih jauh lagi, oleh karena pesatnya perkembangan ini dihantar oleh maraknya kegiatan pelayaran dan perdagangan, sedangkan Islam memiliki kecenderungan terhadap aktivisme keduniaan dan sosial, maka ethos dan budaya dagang pun bangkit di kalangan etnik yang memeluk agama ini, terutama yang tinggal di pesisir.

Berdasarkan pada kenyataan, bahwa agama Islam diserap oleh sebahagian besar masyarakat-masyarakat di negeri ini dan menjadikan nilai dan norma Islam sebagai landasan ideal kebudayaan mereka. Pada dasarnya secara ideal sistem pengetahuan mereka dibingkai dan dituntun oleh ajaran agama Islam. Hampir dalam segala aspek kehidupannya disesuaikan dengan ajaran dan nilai Islam. Meskipun masih ada tindakan-tindakan mereka yang secara kasat mata tidak menunjukkan keislaman, namun hal itu lebih memungkinkan dilihat sebagai suatu tradisi saja yang tidak mempunyai hakikat keagamaan (religi). Kalau pun ada fenomena yang seperti demikian, besar kemungkinan hanya ada pada taraf kebetulan saja. (Noerid Haloei Radam, 2001).

Dengan demikian jelas bahwa nilai dan norma Islam secara ideal telah dijadikan oleh masyarakat-masyarakat Melayu sebagai inti (nuclear) kebudayaan mereka dan filosofi bagi mereka, yang sub-kulturnya meliputi masyarakat Aceh, Melayu di Sumatera Utara, Minangkabau, Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, Melayu Patani Thailand, Banjar, Brunai Darussalam, Bugis, Betawi. Dalam kerangka ini dapat dibenarkan apa yang disampaikan Ismail Raji Al-Faruqi, bahwa di dalam Al-Qur’an sesungguhnya telah dimuat prinsip-prinsip dasar ajaran bagi manusia dalam pembentukan sebuah kebudayaan yang lengka ( Ismail Raji Al-Faruqi, 1999). Jadi kebudayaan Melayu sekarang merupakan sebuah format kebudayaan yang terbangun oleh adanya kontak budaya berbeda antara yang satu dengan yang lain pada masa lampau, dan dibentuk oleh proses perjalanan sejarah yang panjang. Sekarang kebudayaan mereka dibangun atas dasar nilai dan norma Islam. Demikian Islam sebagai landasan ideal kebudayaan masyarakat Melayu, sehingga terbentuk Melayu sebagai sebuah kebudayaan dengan sub-sub masyarakatnya sendiri.  Tak luput seni yang tumbuh di dunia Melayu secara ideal adalah seni yang tidak berlawanan dengan nilai dan norma Islam.

Masyarakat Islam Melayu Menuju Masyarakat Modern

Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kegiatan manusia memperlakukan lingkungan alamiahnya, itulah kebudayaan. Kebudayaan merupakan usaha manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari depannya. Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan, oleh sebab itu dituntut adanya kemampuan, kreativitas, dan penemuan-penemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam mencapai kehidupan yang lebih manusiawi.

Pembaruan Islam di tanah Melayu harus tertumpu pada lapangan pemikiran dan memulai langkah sistemik melalui pembaruan pendidikan. Potensi umat, terutama potensi-potensi ekonomi, intelektual, kestabilan politik dan hubungan yang harmonis antara ulama dan umara harus dimanfaatkan untuk usaha tersebut. Pentingnya potensi ini ialah supaya agenda pembaruan tidak sekadar beroperasi sebagai intellectual exercises semata.

Pembaruan Islam harus lahir sebagai gerakan pragmatik yang menampilkan sistem alternatif yang berupaya melahirkan corak pemikiran dan cara hidup baru, terutama di kalangan generasi muda. Gerakan pembaruan (tajdid) tidak seharusnya terhenti pada tataran penulisan tesis dan disertasi di pelbagai perguruan tinggi semata. Ia harus keluar dari rak-rak buku di perpustakaan dan diolah secara profesional menjadi sistem yang bisa dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dalam ma­syarakat Islam atau berupaya berinteraksi dalam masyarakat melalui rancangan pembangunan pragmatik yang didukung sektor pemerintah dan swasta.

Sektor pemerintah yang bekerja sama dengan swasta sangat penting peranannya dalam menyusun corak pembangunan peradaban Islam di tanah Melayu ini. Penguasaan umat Islam di dua sektor ini memberikan ruang yang luas untuk memacu langkah pembaruan tersebut. Walaupun pembaruan yang kita lakukan pada mulanya terpaksa melalui proses modernisasi, namun dengan kemajuan modernisasi itu lama kelamaan dunia Islam semakin mampu membentuk acuannya sendiri dan semakin terpisah dari modernisasi ala Barat.

Kemajuan dan modernisasi Islam yang dicapai melampaui modernisasi itu sendiri akan menimbulkan keyakinan diri dan kebanggaan terhadap jati diri untuk memilih jalan sendiri, tanpa terikat kepada modernisasi Barat. Modernisasi pada hakikatnya merupakan fenomena universal yang bisa dicorakkan mengikuti berbagai acuan. Justru, modernisasi tidak boleh ditolak begitu saja, tapi juga tidak wajar kalau kita sekedar mengikuti acuan dari Barat. Dalam hal ini, peranan para ulama dan ilmuwan yang bertindak aktif melalui sektor pemerintah maupun swasta sangatlah penting.

Pada pihak lain, umat Islam di tanah Melayu menghadapi masalah besar apabila membiarkan sektor swasta dimonopoli dan dikuasai para kapitalis asing. Di dalam masyarakat modern yang maju, sektor swasta memainkan peranan besar dalam pembangunan negara di samping sektor pemerintah sendiri. Sektor swasta mampu mencetak corak pembangunan dengan mengikuti agenda mereka. Bahkan, penguasaan sektor swasta dalam beberapa lapangan strategis, seperti media cetak dan elektronik, kesehatan dan pendidikan lebih memengaruhi sektor pemerintahan dalam menentukan arah pembangunan nasional.

Maka sudah tiba saatnya bagi masyarakat Islam di tanah Melayu memberi perhatian serius kepada kepentingan menguasai sektor swasta di samping terus mendukung sektor pemerintah, agar kita bertambah teguh dan memiliki integritas yang dihormati dan disegani dunia. Tumpuan kepada sektor swasta ini juga seharusnya menjadi agenda utama dalam pembaruan pemikiran Islam dan pendidikan. Ini artinya bahwa tumpuan utama dalam usaha menguasai sektor swasta tidak hanya dalam penguasaan konsumsi, melainkan harus memproduksi. Hal itu dilakukan dengan membangun sekolah Islam sebagai langkah utama ke arah memasuki dan memperkuat kedudukan umat dalam sektor swasta.

Membangun pendidikan dengan menumbuhkan sekolah-sekolah Islam yang berkualitas tinggi sehingga menjadi sekolah terbaik serta diurus secara profesional dan berkesinambungan merupakan langkah bijaksana dan inovatif dalam menggerakkan pembaruan Islam di tanah Melayu menuju masyarakat modern.

Masyarakat melayu modern akan tercipta jika masyarakat memiliki pemikiran yang dinamis dan tidak statis. Pemahaman keislaman yang dinamis akan membawa kepada perubahan dan kemajuan, begitu juga dengan sector-sektor yang lain seperti ekonomi, perdagangan dan lainnya. Kejumudan pemikiran akan membawa kepada kestatisan dan kemunduran dan itulah yang terjadi pada masyarakat melayu sekarang pada umumnya.

Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan umat Islam dapat dipahami secara dinamis dan dapat pula dipahami secara statis tetapi al-Qur’an itu sendiri mensinyalkan untuk dipahami secara dinamis. Pemikiran rasional bukan berarti keluar dari prinsip-prinsip al-Qur’an dan sunnah melainkan pemikiran rasional adalah pemikiran yang tidak melanggar prinsip-prinsip al-Qur’an dan sunnah. Manusia diberikan akal dan pikiran oleh Allah untuk dimanfaatkan semaksimalnya baik menganalisa alam atau pun menganalisa segala sesuatu bahkan dirinya sendiri agar tercipta manusia yang sempurna dan karena itu pun juga sudah menjadi sunatullah kita sebagai manusia untuk mengoptimalkan daya pikir kita tersebut.

Perlu kita pahami disini bahwa pemahaman masyarakat melayu tentang Islam tidak sama, ada yang memahami Islam secara dinamis dan ada pula yang memahami secara statis. Hal ini pun akan merambah kepada bidang-bidang atau sector lain. Masyarakat modern akan tercipta jika masyarakat melayu memahami Islam secara dinamis sehingga pemahaman terhadap hal lain pun juga dinamis dan bagi masyarakat yang masih memahami secara statis maka harus dirubah kearah dinamis sehingga masyarakat modern akan tercipta.

Penutup

Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa masyarakat melayu sangat tergantung kepada kebudayaan, pendidikan serta pemahaman keislaman karena masyarakat melayu identik dengan Islam. Perubahan masyarakat melayu menuju masyarakat modern harus diawali melalui perubahan pola pikir ataupun pemahaman terhadap keislaman secara dinamis karena pemahaman yang bersifat dinamis akan membawa kepada kemajuan sedangkan pemahaman yang bersifat statis akan membawa kepada kemunduran.

Di lain pihak, kerjasama antara sector pemerintahan dan sector swasta harus dioptimalkan karena ini merupakan salah satu factor penting menuju masyarakat modern. Tanpa adanya keikutsertaan pemerintahan serta kerjasama dengan sector swasta maka perubahan tidak akan tercapai. Kerjasama dengan berbagai pihaklah yang akan membantu masyarakat melayu menuju masyarakat modern yang dinamis.

Kepustakaan

Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan
Kekuasaan
.
Jakarta: Rosda, 1999.

Al-Attas, S. M. Naquib, The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kuala Lumpur:
Universiti Malaya Press oeve, 1970.

Amri Marzali, “Etnografi Baru”, dalam James P. Spradley, Metode Etnografi. Terj. Misbah Zulfa Elizabeth. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997)

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (London: The Anchor Press, 1975

Hasan Muarif Ambary (1998), Menemukan Peradaban: Arkeologi dan Islam di
Indonesia
. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Ismail Raji Al-Faruqi, Seni Tauhid. Terj. Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Bentang, 1999

Kern, H. (1917). Versperiche geschifter VI. The Hague: Martinus Nijhoff.

Noerid Haloei Radam, Religi Orang Bukit. (Yogyakarta: Yayasan Semesta, 2001

Paul B. Horton dan  Hunt Chester L, Sosiologi, jilid 1. Terj. Aminuddin Ram dan Tita Sobari. (Jakarta: Erlangga,  1991

Ralph Linton, Antroplogi: Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, terj. Firmansyah, (Bandung: C.V. Jemars, 1984).

Schrieke, B. (1955). Indonesian Sosilogical Studies, The Hague & Bandung: Van H

Wolters, O. W. (1970). The Fall of Sriwijaya in Malay History, Ithaca, New York: Cornell University


Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun