Dosen Pengampu: Dr. Fajar Khaify Rizky S.H., M.H & Dr. Rosmalinda S.H., LLM.
Oleh: Audy Septriana Matondang
Perkembangan dunia digital memang menawarkan panggung yang tidak terbatas bagi siapa saja yang ingin membagikan kreativitasnya. Mereka yang membagikan kreativitasnya melalui media online disebut sebagai content creator. Pekerjaan ini mengalami peningkatan peminat yang drastis terutama pada Generasi Z dan Generasi Alpha. Peningkatan ini memunculkan sebuah fenomena baru yang dikenal sebagai content creator anak atau juga disebut sebagai kid influencer. Kita sering melihat dan merasa terhibur dengan tingkah lucu dari kids Influencer. Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: Apakah ini sekadar hiburan, atau justru jeratan eksploitasi berbalut konten?
Kehadiran anak-anak di dalam dunia hiburan bukanlah hal yang baru, hal ini sudah menjadi hal yang lumrah dan dianggap sebagai bentuk pengembangan bakat dari si anak sendiri. Pekerjaan seperti aktor, aktris, penyanyi, bahkan model cilik merupakan contoh dari keterlibatan anak-anak dalam dunia hiburan. Namun mengapa ketika anak menjadi content creator yang sama-sama bergerak dalam dunia hiburan justru menjadi target eksploitasi?
Perbedaan Antara Bekerja Dengan Dieksploitasi
Jika kita membandingkan anak yang bekerja secara profesional di dunia hiburan (aktor, aktris, penyanyi, dan model cilik) dengan anak yang bekerja sebagai content creator, terdapat perbedaan yang cukup mencolok yaitu:
- Anak yang bekerja secara profesional di dunia hiburan, terikat kontrak yang jelas, dimana dalam kontrak tersebut terdapat pengaturan yang ketat mengenai batasan waktu kerja, jam istirahat, dan jaminan mengenai pendidikan. Sementara anak yang bekerja sebagai content creator, tidak terikat kontrak yang jelas, dimana proses pembuatan konten tidak menentu dan bahkan bisa mengorbankan waktu anak bermain dan sekolah.
- Anak yang bekerja secara profesional di dunia hiburan, bekerja dengan skenario yang telah dibuat sebelumnya sehingga privasi kehidupan pribadi anak tidak disebar ke masyarakat luas. Sementara anak yang bekerja sebagai content creator, seringkali menampilkan momen emosional, konflik, hingga detail pribadi anak yang seharusnya tidak boleh disebar.
- Anak yang bekerja secara profesional di dunia hiburan, diawasi oleh lembaga-lembaga terkait, seperti komisi penyiaran, serikat pekerja seni dan sebagainya, sehingga dapat melakukan intervensi jika terdapat unsur ekploitasi terhadap anak. Sementara anak yang bekerja sebagai content creator, minim diawasi oleh pihak ketiga karena keputusan mengenai pekerjaan si anak 100% ada di tangan orang tua/wali yang mengakibatkan sulitnya melakukan intervensi jika terjadi eksploitasi terhadap anak.
Aspek Eksploitasi Ekonomi Pada Content Creator Anak
Berdasarkan Pasal 76I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) menyatakan bahwa, “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak”. Eksploitasi dalam bidang ekonomi dapat dilihat dalam kegiatan monetisasi (iklan, endorsement, live streaming meminta gift) yang melibatkan anak. Dimana kegiatan ini dapat memenuhi unsur "eksploitasi secara ekonomi" jika dilakukan tanpa memperhatikan tumbuh kembang dan hak anak.
Aspek Eksploitasi Psikologis Pada Content Creator Anak
Berbeda dengan anak yang bekerja secara profesional dalam dunia hiburan, content creator anak tidak memiliki batasan jam syuting/rekam video yang jelas. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk terus memproduksi konten agar tetap memiliki online presence. Hal ini seringkali menjadi alasan untuk mengurangi hak istirahat dan bermain anak. Untuk mengidentifikasi tanda-tanda eksploitasi pada anak yang menjadi content creator sendiri terdapat beberapa indikator yang dapat diperhatikan, diantaranya:
- Anak tidak memiliki cukup waktu untuk belajar, bermain, dan bersosialisasi dengan teman sebaya.
- Anak terlihat lelah, baik secara fisik maupun emosional, karena jadwal yang padat dan tuntutan untuk tampil sempurna di depan kamera.
- Anak menunjukkan tanda-tanda kecemasan dan depresi, seperti mudah marah, mudah sedih, menarik diri dari interaksi sosial, dan kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya mereka sukai.
- Anak mengalami perubahan nafsu makan, seperti makan berlebihan atau kekurangan makan, sebagai respons terhadap stres dan kecemasan.
Aspek Eksploitasi Privasi Pada Content Creator Anak
Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju mengakibatkan tidak adanya batasan dari privasi seseorang. Banyak orang yang tanpa sadar membagikan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dia bagikan media online. Hal ini tentu menjadi hal yang berbahaya pada anak, dikarenakan anak belum paham mengenai batasan privasi yang boleh dibagikan atau tidak, dan tanpa pengawasan yang ketat dari orang tua ini kan menimbulkan masalah dikemudian hari. Ketika anak yang bekerja sebagai content creator, ia akan mendapatkan respond in realtime tentang apa yang dia lakukan. Sehingga ini menjadi celah bagi pihak-pihak jahat untuk melakukan aksinya. Contohnya adalah cyberbullying, grooming, dan doxing yang sangat sering terjadi di dunia maya. Hal ini dikarenakan orang terlalu nyaman berkata-kata di balik topeng anonim dunia maya sehingga ia merasa hal tersebut adalah hal yang wajar. Tentu saja ini akan menimbulkan dampak psikologis yang buruk bagi anak.
Perlindungan Hukum Bagi Anak Yang Bekerja Pada Dunia Hiburan
Pada Pasal 71 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) menyatakan, “Anak dapat melakukan pekerjan untuk mengembangkan bakat dan minatnya”. Dimana dalam bekerja anak tersebut memiliki syarat yaitu:
- Di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
- Waktu kerja paling lama 3 jam sehari;
- Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.