Mohon tunggu...
Audrey Betsyeba
Audrey Betsyeba Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa yang senang dengan topik sosial.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Interseksionalitas Pada Perempuan Penyandang Disabilitas

11 Juni 2024   12:15 Diperbarui: 11 Juni 2024   12:26 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Topik mengenai disabilitas seringkali dianggap sebagai isu yang sensitif sehingga tidak jarang orang menghindari pembicaraan tersebut karena menganggap bahwa itu adalah suatu isu sensitif. Hal dasar seperti apa itu disabilitas masih sering tidak diketahui, hal ini karena kurangnya penyebaran pengetahuan mengenai disabilitas. 

Menurut UU No. 8 Tahun 2016 "disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan atau kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak."  Berdasarkan pengertian tersebut, penyebutan penyandang disabilitas sebagai orang "cacat" sebenarnya kurang sopan.

Terdapat banyak konteks dalam disabilitas, salah satunya adalah interseksionalitas yang mana memiliki arti pengalaman seorang penyandang disabilitas tidak dapat dilihat secara terpisah dari identitas seperti ras, kelas sosial, jenis kelamin, dan lain-lain yang membentuk kehidupan mereka. 

Dengan interseksionalitas dapat terlihat bahwa bentuk-bentuk ketidakadilan dan diskriminasi yang diterima dapat saling berinteraksi dan bahkan memperkuat satu sama lain. 

Secara tidak sadar, masyarakat sudah membentuk suatu konstruksi sosial mengenai isu ketubuhan dimana terbentuk konsep normalitas tubuh yang dianggap sebagai suatu standar. Selain isu ketubuhan juga ada konstruksi mengenai gender, hal ini menjadikan seorang perempuan disabilitas akan menanggung beban yang lebih berat karena identitasnya tersebut.

Rentannya interseksionalitas pada perempuan penyandang disabilitas masih sangat banyak ditemukan bahkan hingga saat ini. Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sepanjang 2023 terdapat 105 laporan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan penyandang disabilitas di Indonesia baik disabilitas mental, sensorik, intelektual, dan fisik. 

Mungkin angka tersebut dipandang sedikit, namun realitas sosial yang terjadi tidak seperti itu karena nyatanya ada sangat banyak kekerasan dan diskriminasi kepada perempuan penyandang disabilitas hanya saja tidak terlaporkan. Terdapat banyak faktor alasan mengapa banyak kasus yang tidak dilaporkan seperti misalnya terdapat ancaman pada korban, korban yang tidak paham dengan apa yang terjadi, hingga sulitnya akses untuk melaporkan.

Perempuan disabilitas cenderung mendapatkan lebih banyak kekerasan atau diskriminasi dibandingkan dengan laki-laki disabilitas, hal ini kembali lagi pada konstruksi masyarakat mengenai gender. Dalam gender terdapat subordinasi yang terjadi yaitu menganggap bahwa perempuan nomor dua dan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. 

Carastathis (2014) mengatakan bahwa interseksionalitas menjadi suatu cara mengonseptualisasikan hubungan antara sistem-sistem opresi yang membangun identitas kita yang berada dalam privilege serta hierarki kekuasaan. Dengan itu, maka isu disabilitas dan gender sama-sama rentan untuk mengalami diskriminasi dan perlu kesadaran serta sensitivitas penuh dari masyarakat terhadap isu ini. 

Masyarakat harus mulai sadar bahwa membangun lingkungan yang ramah, saling menghargai, terbuka dan inklusif menjadi suatu kebutuhan bagi semua lapisan sosial. Hal ini dapat dimulai dengan keluarga yang menjadi lingkup terkecil dimana keluarga dapat mulai menerapkan dan mensosialisasikan inklusivitas, tidak ada lagi subordinasi ataupun stigma lainnya terhadap suatu gender dan disabilitas. 

Kemudian dinas sosial dan lembaga-lembaga yang terdapat ditengah-tengah masyarakat juga harus terus melakukan penyuluhan mengenai kedua isu ini agar semakin terbangunnya pemikiran yang terbuka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun