Mohon tunggu...
Audifax Prasetya
Audifax Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Peneliti, Penggemar sepakbola

Seorang penyuka psikologi, filsafat, sepakbola (khususnya Persebaya dan di kejuaraan apa pun di mana ada tim Jerman berpartisipasi)

Selanjutnya

Tutup

Bola

Pemain Asing di Liga 1, Apa Fungsinya?

8 Februari 2022   05:15 Diperbarui: 8 Februari 2022   05:29 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keberadaan pemain asing di Liga Indonesia sering menjadi perbincangan hangat. Wacana untuk mengurangi atau menghapuskan pun tak jarang mengemuka. Tudingan bahwa pemain asing menghalangi munculnya bibit pemain lokal, sudah jamak dikemukakan. Keberadaan pemain asing, seringkali hanya dikatakan sebatas menambah daya tarik kompetisi. Benarkah demikian? Mari kita analisa.

Sejak tahun 1994 ketika dimulainya kompetisi yang menggabungkan Galatama dan Perserikatan, kran pemain asing dibuka. Liga Indonesia edisi pertama tersebut dijuarai Persib Bandung, yang tampil justru tanpa pemain asing. Namun nama-nama pemain asing menghiasi liga yang pertama kali digelar tersebut, ada Vata Matanu Garcia, Abel Campos, Jacksen Fereira Tiago Carlos de Mello dan banyak lagi.

Liga demi liga berjalan, dan pemain asing silih berganti. Saat ini, di tahun 2022, praktis sudah berjalan 17 tahun liga sepakbola yang dihiasi pemain asing. Lalu, apa kontribusi mereka bagi sepakbola Indonesia? Apakah hanya sekedar menjadi daya tarik bagi penonton? Atau mereka menjadi penghalang munculnya talenta-talenta lokal, terutama di posisi yang sering ditempati pemain asing, seperti striker, playmaker dan bek tengah?.

Perlukah pemain asing? Bukankah terakhir kali Indonesia meraih gelar juara di event bergengsi seperti Sea Games 1991 dan 1987, atau masuk empat besar Asian Games 1986, atau lolos kualifikasi sub-grup Piala Dunia 1986 sebelum dihentikan Korea Selatan, adalah era sebelum pemain asing diperbolehkan masuk? Betul!. Tapi ada hal penting yang perlu dicermati dan di situlah kontribusi pemain asing.

Mari kita mulai analisa dengan bisa melihat kembali pada kompetisi di era sebelum pemain asing diperbolehkan masuk. Ada Perserikatan dan Galatama. Pada saat itu banyak pemain-pemain yang bermain cemerlang di kompetisi, sebut saja Bambang Nurdiansyah, top skor beberapa kali kompetisi Galatama, Edy Harto, penjaga gawang yang terkenal handal, atau siapa yang tak tahu Robby Darwis, palang pintu legendaris yang juara bersama tim Sea Games 1987 dan 1991. Belum lagi nama-nama legendaris seperti Ajat Sudrajat, Ribut Waidi, Budi Wahyono, Budiawan Hendratno, Ashari Rangkuti, Patar Tambunan, Mustaqim dan lain sebagainya. Mereka menjadi pemain-pemain cemerlang saat kompetisi. Tapi, kecemerlangan mereka seolah sirna ketika bermain di tim nasional.

Para top skor kompetisi perserikatan dan Galatama, seperti Singgih Pitono, Sutiono, Nasrul Kotto, Mohammad Alhadad dan banyak nama lagi, seperti melempem ketika bermain di tim nasional lalu berhadapan dengan tim nasional manca negara, terutama Korea Selatan, Jepang, Arab Saudi dan lainnya. Jatahnya kita dipermak dengan rata-rata selisih empat gol. Para bek yang di kompetisi nampak tangguh, kocar-kacir ketika berhadapan dengan penyerang-penyerang dari manca negara.

Mengapa terjadi demikian? Itu karena semua kehebatan pemain lokal tersebut, terbentuk dalam ekosistem persaingan sesama pemain lokal. Mereka hanya terbiasa menghadapi pemain yang ukuran tubuhnya sama dan staminanya juga sama. Bahkan skill rata-rata pemain di kompetisi saat itu tak bisa dikatakan tinggi, kecuali mereka yang menjadi bintang atau level timnas. Dan biasanya, pemain-pemain berkualitas ini hanya dimiliki klub-klub besar atau papan atas.

Bahkan jika mencermati lebih jeli, pada era itu sangat banyak kiper dan bek tengah bertubuh pendek, dan mereka eksis menjadi andalan di klub masing-masing. Edy Harto misalnya, adalah kiper yang tidak terlalu tinggi, namun melegenda, sempat lama bermain di Krama Yudha sebelum pindah ke Assyabaab Salim Group Surabaya. 

Begitu juga beberapa kiper lain, seperti Koko Sunaryo (Mitra Surabaya), Anshar Abdullah (Makassar Utama), Riyono (Persebaya) dan banyak lagi. 

Persebaya ketika juara pada 1988, menggunakan bek tengah sekaligus kapten kesebelasan, Nuryono Haryadi, yang tidak terlalu tinggi. Pada 1987, Nuryono Haryadi bahkan berduet dengan stopper yang juga bertubuh pendek, yaitu Harmadi, namun Persebaya mampu meraih runner-up di bawah PSIS. Dan banyak lagi deretan bek tengah bertubuh pendek, Saiman dari Barito Putra, Johny Rining dari Persiba Balikpapan, dan seterusnya. 

Pola itu mulai berubah ketika pemain asing masuk di kompetisi. Lambat laun, pemain-pemain bertubuh pendek di posisi kiper dan bek tengah menghilang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun