Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo
FX Aris Wahyu Prasetyo Mohon Tunggu... -

Penulis di berbagai media seperti Kompas, Lampung Post, Wawasan, Suara Merdeka, dan Pontianak Post. Saat ini menjadi kontributor tetap untuk Majalah PsikologiPlus. Dan, pendidik di Kolese Loyola Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

SMA Kolese Loyola:Mengupayakan Pendidikan yang Reflektif Melalui Live In

1 Agustus 2013   12:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:45 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tentunya kita sepakat bahwa pendidikan di sekolah bukanlah sekadar transfer ilmu pengetahuan belaka. Akan tetapi, pendidikan merupakan sebuah proses memanusiakan manusia menuju taraf insani lewat segala dinamika yang reflektif secara berkelanjutan. Uraian tersebutlah yang membedakan antara pendidikan di sekolah dan lembaga bimbingan belajar yang mulai menjamur seiring dengan Ujian Akhir Nasional yang menakutkan itu.

Celakanya, saat ini sekolah tak ubahnya seperti lembaga bimbingan belajar karena guru berusaha keras untuk melakukan transfer ilmu dengan hafalan dan drill demi mempersiapkan ujian akhir. Sesungguhnya, itu bukanlah murni kesalahan guru karena adanya sistem yang membuat sekolah menjadi arena transfer ilmu belaka. Orang tua, guru, dan anak tentunya cemas kalau tidak lulus ujian akhir, khususnya ujian akhir nasional. Kecemasan itulah yang mengubur dalam-dalam internalisasi ilmu dalam nilai-nilai hidup dan berubah menjadi transfer ilmu. Dan parahnya, kecemasan itu bersumber dari kebijakan elit pendidikan.

Pendidikan Menyeluruh

Pastinya kita juga sepakat bahwa pendidikan meliputi tiga ranah, yakni kognitif, psikomotorik, dan afektif. Keseimbangan dan keselarasan dalam proses pendidikan menjadi sebuah fokus penting. Sebuah harapan bahwa anak didik akan berkembang menjadi pribadi yang utuh. Dengan kata lain, adanya kemauan besar untuk mengembangakan competence sehingga anak berkembang secara akal atau pikiran, conscience sehingga berkembang secara hati nurani, dan compassion sehingga berkembang secara kepedulian sosialnya.

Tujuan luhur pendidikan itu seringkali tidak sejalan dengan apa yang terjadi di lapangan. Akibatnya, pendidikan yang pincang dengan menekankan pada bidang tertentu saja. Dan, pendidikan kita lebih cenderung menekankan pada aspek kognitif atau competence-nya saja. Pengembangan hati nurani dan kepedulian hanya menjadi pendukung belaka dari sebuah pembelajaran berorientasi materi.

Sekolah mulai menjadi arena frustasi bagi para anak didik dengan mata pelajaran yang begitu banyak dan identik dengan materi yang menumpuk. Tidak ada ruang untuk mengolah hati nurani dan kepedulian karena harus menyelesaikan materi yang diikuti tes kecil, ulangan harian, dan tugas yang bertubi-tubi. Bahkan untuk membereskan masalah materi itu, anak didik harus mengorbankan waktunya di luar jam sekolah untuk les atau privat.

Tidak salah tatkala Lorraine A. Ozar dalam bukunya Creating A Curriculum That Works mencoba mengingatkan para guru dengan menekankan pada kebutuhan siswa dalam proses pembelajaran. Perubahan paradigma dilontarkan oleh Ozar dari “What shall I teach?” dan “What shall I cover?” menuju ke sebuah paradigma “What shall students learn?” dan “How will I know they’ve learned it?”. Sebuah perubahan paradigma coba ditawarkan, dari berorientasi materi menuju ke pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan siswa itu sendiri.

Live In: Terobosan Edukatif

Memang guru sangat diharapkan menjadi fasilitator yang baik untuk anak didik dengan desain pembelajaran yang lebih dinamis, bermakna, interaktif, dan reflektif. Sebuah kesadaran edukatif mesti dibangun. Jeffrey Glanz dalam Cultural Leadership (2006) mengatakan bahwa sekolah itu ada untuk anak didik. Hal ini semakin meyakinkan bahwa pendidik mesti mempertimbangkan pendidikan menyeluruh untuk anak didik.

John F. Kennedy mengingatkan kita bahwa anak yang dididik dengan salah adalah layaknya anak yang hilang. Sebuah gambaran kengerian akan generasi yang tidak utuh sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat. Parahnya, itu semua adalah produk dunia pendidikan. Kalau pendidikan sudah dan akan menjadi tempat yang salah untuk anak-anak berkembang secara utuh, ke manakah nasib bangsa ini?

Sekolah dituntut untuk melakukan terobosan pengembangan pendidikan secara menyeluruh untuk anak-anak. Sebuah harapan bahwa anak-anak memiliki kesempatan untuk mengolah hidupnya secara seimbang antara competence, conscience, dan compassion.Live in dapat menjadi salah satu terobosan untuk pengembangan pendidikan yg menyeluruh itu, khususnya bagi anak-anak di kota.

Sudah begitu lamaSMA Kolese Loyola Semarang melakukan live in di daerah-daerah, seperti Kulon Progo, Temanggung, Wonogiri, Wonosari, Kendal, dan masih banyak lagi. Live in ini diperuntukkan bagi siswa kelas X (kelas 1) setahun sekali. Live in menjadi sebuah kesempatan yang menarik dan bermakna bagi anak-anak untuk belajar tentang kehidupan nyata di desa. Ada sebuah perbedaan mendasar antara kota dan desa. Dari situlah proses pembelajaran bagi mereka dimulai dan terus berproses.

Pada awalnya ada ketakutan dan kekhawatiran yang menyelimuti anak-anak karena bagi mereka desa adalah sebuah situasi yang asing dan sulit mereka bayangkan. Lima hari di desa, hidup bersama keluarga asuh dengan menjalani rutinitas keluarga dan desa itu banyak memberikan input dan pengalaman yang berguna. Sebuah refleksi anak-anak menjadi sebuah cerminan dari proses pembelajaran mereka dengan dunia nyata.

Refleksi Edukatif

Dalam live ini, anak-anak tidak lagi belajar tentang materi pelajaran yang menjemukan. Mereka benar-benar belajar tentang kehidupan itu sendiri, seperti iman, rahmat, rasa syukur, arti belajar, kasih, pelayanan, penghargaan, dan semangat hidup.

Banyak refleksi telah memutarbalikkan ketakutan dan kekhawatiran mereka tentang desa sebelumnya. Kekaguman dan spirit baru mereka temukan dalam pergulatan dengan pengalaman di desa. Siska merefleksikan semua pengalamannya di desa dengan melihat kehidupan orang desa dan menghubungkan dengan Sang Pencipta seperti yang ditulis dalam paragraf terakhir refleksinya berikut ini.

.... Akhirnya, aku menyadari apa maksud dari semua itu. Aku mendapat pelajaran bahwa Tuhan adalah Yang Maha Adil dan Maha Kuasa. Apapun dapat terjadi, jika Tuhan menghendakinya untuk terjadi. Tuhan akan hadir di tengah-tengah kehidupan kita dan selalu mencukupkan kita sehingga kita tetap dapat hidup untuk dapat menjalani liku-liku perjalanan yang penuh dengan berbagai macam persoalan yang ada di dunia ini. Tuhan benar-benar nyata dalam hidup kita.

Sebuah refleksi mendalam tentang kekuatan Tuhan. Yang akan sulit didapat oleh anak didik ketika hanya ada di sekolah saja. Bahkan mereka pun mulai menyadari akan arti sekolah dalam hidup mereka, seperti Odhilia dalam refleksinya menyadari akan hal itu.

…. Aku terhenyak. Aku menjadi sadar bahwa sekolah bagi mereka adalah cita-cita. Untuk bisa sekolah, mereka harus berjuang. Sedangkan bagiku, sekolah adalah hal biasa yang kadang-kadang justru aku hindari.

Selain itu, mereka pun menemukan semangat hidupnya lewat pembelajaran mereka bersama masyarakat desa. Tanpa disuruh dan harus menghafal, mereka menyadarinya. Gaby menuliskan semangat itu lewat sebuah perumpamaan yang bagus seperti berikut ini.

…. Aku sadar bahwa dalam setiap pengalaman, kita merasakan kebahagiaan dan kesedihan. Dengan kebahagiaan itu, kita akan merasa dikuatkan dan didukung. Dalam kesedihan kadangkala kita menjadi putus asa dan lemah. Namun dengan semangat dan perjuangan seperti bapak asuhku di desa, hidup terasa semakin bermakna. Hidup bagaikan jalan setapak. Biarlah hidup kita menjadi jalan setapak dan mari kobarkan semangat untuk menapaki jalan itu dengan segala rintangannya.

Sederetan nilai-nilai hidup telah mereka gali dan akan terus membekas dalam hidup mereka sebagai modal menapaki hari depan. Dan semua pengalaman dan nilai hidup itu memberikan harapan baru bagi dunia pendidikan akan pendidikan yang utuh dengan membentuk manusia yang mampu secara akademis (pikiran), berhati nurani, dan peduli dengan sesama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun