Sembilan bulan sebelum pandemi Covid-19 menyebar ke lebih dari 120 negara di dunia, sebuah pesan masuk melalui aplikasi Whatsapp. Pesan dari mamah mertua itu singkat tetapi isinya bagai petir yang menggelegar di tengah hari paling sunyi: Sri berhenti kuliah.
Sri adalah relawan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Indung yang saya dirikan di rumah mertua pada 2017. Hampir setiap sore dia datang untuk meminjam dan membaca buku serta membawa cerita dengan topik serupa: keinginan kuliah dan orang tua yang menyerah. Saya merasa lega saat dia akhirnya mendapat beasiswa Bidikmisi (sekarang KIP-K). Makanya saat kabar itu sampai rasa-rasanya saya enggan untuk mempercayai.
Keesokan harinya, saya dan istri bertandang ke rumah Sri. Kami disambut belasan mata yang basah dan hidung yang berair. Sebuah bendera kuning kaku terpasang pada pohon duku. Rumah yang baru selesai dibedah lewat bantuan sosial (Bansos) itu rupanya tengah menjadi rumah duka.
Adik lelaki Sri meninggal dunia. Kejadian itu bermula saat Sri meminta dijemput ayah dan adiknya setelah memutuskan berhenti kuliah. Uang beasiswa yang cair pada akhir semester membuat Sri memberikan seluruh rasa iba kepada orang tua yang kerap meminjam ke kanan dan kiri untuk keperluan sehari-harinya di perantauan.Â
Dia tak menyisakan sedikit pun untuk cerita dan cita-citanya menjadi sarjana. Malang, saat dia dijemput pulang itu, sang adik yang membawa semua perlengkapan Sri selama ngekos mengalami kecelakaan dan meninggal di lokasi kejadian.
Sri dikepung perasaan bersalah. Saat kami meyakinkan agar dia tetap kuliah, dia hanya menangis seraya menyesali diri. Dia pun tak melanjutkan studi meski bantuan dari berbagai pihak menghampiri, termasuk dari pihak kampus.
"Sri mau kerja saja. Bantu bapak sama emak. Kasihan."
Sayang, Covid-19 yang menggila membuat Sri harus pulang setelah sebelumnya bekerja sebagai asisten rumah tangga di Jakarta. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Covid-19 juga membuat Pak Kusnadi (46 tahun) nelangsa. Sembilan bulan lamanya dia hanya bisa memandangi mesin jahit tas miliknya. Pesanan dari dinas-dinas di Kabupaten Pandeglang dan sekitarnya tiba-tiba berhenti setelah seluruh kegiatan berpindah ke jagat maya.Â
Dan bukan hanya Pak Kusnadi yang bernasib malang, namun 30 kepala keluarga yang tergabung dalam KUB (Kelompok Usaha Bersama) Sinar Rahayu yang dipimpinnya juga turut terdampak. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Pak Kusnadi membuat layang-layang dan menjualnya kepada anak-anak di kampungnya di Kecamatan Koroncong, Pandeglang.