Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menembus Batas Nasib Manusia

16 Januari 2011   11:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:31 1037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1295178727879491686

Oleh : Atep Afia Hidayat - Batas itu adalah pemisah antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Untuk menyebrang perbatasan diperlukan izin dan prosedur khusus, tidak mudah memang. Meskipun globalisasi terus merambah semua sektor kehidupan, namun batas-batas tetap eksis, sulit dihapus. Umat manusia memang ada kecenderungan untuk saling membatasi diri. Setiap individu manusia memang membentuk batas-batasnya sendiri, bahkan ada yang secara berlebihan. Bayangkan menjalani kehidupan dengan batas-batas fiktif yang terus dibentuk, begitu pengap, sulit bernafas, susah berkembang. Konsekuensinya ruang gerak dan ruang hidup makin menyempit, sulit berbicara, sulit berekspresi, hanya jalan di tempat, bahkan menyusut. Pembatasan diri disebabkan cara berpikir yang kisut, pesimis dan skeptis. Sumber segala keterpurukan memang dari cara dan proses berpikir. Cobalah berpikir indah maka hidup akan berasa indah. Cobalah berpikir horor maka hidup  akan penuh dengan horor. Begitu pula, jika berpikir sempit maka hidup pun akan menjadi sempit. Ya, dari proses dan cara berpikir tertentu  akan terbentuk sikap tertentu, lalu kebiasaan tertentu, karakter tertentu dan nasib tertentu. Bagaimana kondisi kehidupan kita sekarang, tidak lain merupakan akumulasi proses dan cara berpikir. Mengubah kehidupan adalah beralih nasib, dari nasib X berubah menjadi nasib Y. Di antara kedua macam nasib itu tentu ada batas yang harus ditembus. Kemampuan menembus batas nasib sangat ditentukan oleh kekuatan mengubah cara berpikir. Kalau pikiran berkata "ya" maka proses menembus menjadi lebih mudah, sebaliknya kalau pikiran berkata "tidak" maka proses menembus nasib akan terasa sulit. Setiap hari pikiran terus bekerja, siapapun pasti berpikir, meskipun entah apa yang dipikirkannya. Sebagaimana setiap hari setiap orang selalu bernafas, bahkan setiap sepersekian detik proses pernafasan selalu berlangsung. Begitu pula berpikir, setiap sepersekian detik proses per-pikir-an selalu terjadi. Menurut sebuah observasi, dalam 24 jam setiap orang menghasilkan 4.000 gagasan, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, bahkan dalam tidur. Ya, ketika sedang tidur pulas pun proses berpikir tetap berlangsung. Luar biasa memang, setiap manusia dianugerahi organ otak, sehingga memiliki kemampuan berpikir. Karena kemampuan itulah manusia dipercaya Tuhan Sang Maha Pencipta Alam Semesta (Allah SWT) sebagai pengelola (khalifah) di Planet Bumi. Jadi yang berhak memperbaiki kesejahteraan di Bumi adalah manusia, baik kesejahteraan diri sendiri, seluruh manusia, mahluk lain, bahkan Bumi itu sendiri. Begitu berat tugas manusia, yaitu sebagai pengelola Bumi. Dengan demikian cara berpikirnya harus sebesar misi dan visinya. Tugas manusia begitu mulia, mempertahankan kelangsungan Planet Bumi. Dalam realisasinya banyak manusia yang tidak memahami visi dan misi dari proses penciptaannya. Milyaran manusia terpuruk karena keliru dalam berpikir. Setiap manusia dilengkapi organ otak, tetapi banyak yang tidak tahu cara menggunakannya. Potensi otak yang digunakan kebanyakan manusia sangat rendah, dan hanya sedikit saja yang melampaui 5 persen. Dengan kata lain, sekitar 95 persen dari otak kebanyakan manusia masih menganggur. Hal itulah yang menyebabkan beberapa wilayah di Planet Bumi terpuruk, karena secara individu manusianya "bermasalah" dengan dirinya sendiri, dan secara kolektif "bermasalah" dengan kelompoknya sendiri. Manusia memang cenderung berkelompok dalam satuan yang kecil sampai besar, satuan yang besar adalah negara.  Banyak negara yang terpuruk karena secara kolektif manusia di dalamnya tidak bisa menembus batas nasib, secara kolektif tidak bisa mengubah cara berpikir. Untuk mereformasi cara berpikir kolektif memang diperlukan pemimpin yang mumpuni yang menjadi teladan dan panutan. Menembus batas nasib manusia, baik secara individu atau kolektif harus dimulai dengan mengubah cara berpikir. Aspek pendidikan menjadi penting untuk mengubah cara berpikir secara kolektif . Bagaimanapun, penyebab utama dari banyaknya negara yang terpuruk ialah kegagalam sistem pendidikan. Pendidikan harus dimulai dengan upaya penekanan bagaimana cara menggunakan otak dan bagaimana proses berpikir yang baik dan benar. (Atep Afia)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun