Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tungku Hati Menanak Cinta

29 Juni 2019   11:25 Diperbarui: 29 Juni 2019   11:34 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan deras. Udara dingin. Kedua kaki merapat. Tangan terkatup di dada. Angin semakin ribut. Alang-alang atap rumah beterbangan. Percikan air membasahi dinding bambu. Kayu api semuanya basah. Babi terus berteriak. Kambing ikut mengembik. Ayam semakin merapatkan bulu dan sayapnya.

"Kristian, ambil kayu bakar di luar," pinta mama sembari meniup api di tungku.

Aku bangkit dari kursi kayu. Badanku terasa dingin. Aku tak mau basah kuyup karena hujan. Daun pisang yang kuletakkan di dekat pintu dapur bisa melindungiku dari hujan. Tanpa menunggu lama aku bergegas mengambil kayu bakar. Dengan penuh kekuatan, aku melawan dingin yang semakin melemahkan badan.

"Letakkan di atas para-para, biar kering!" teriak mama sambil tunduk mencari biji padi yang belum menjadi beras.

Badanku pendek. Tinggi para-para membuatku sulit menggapainya. Aku mengambil jerigen jumbo yang setengah bagiannya masih terisi air. Kayu-kayu basah itu kuletakkan di atas tungku api. Air mendidih. Mama mengambil dua gelas kaca yang sudah terisi gula dan kopi. Uap air tampak mengepul di udara.

"Nikmat sekali kopi ini. Udara dingin akan menyerah ketika aku menyeruputnya. Apa lagi jika ditemani jagung goreng dan lombok jeruk," ungkapku setengah berimajinasi.

Air di periuk masih banyak. Mama mengambil cerek lalu menuangkan air dingin di jerigen kecil. Kemudian dia mengisi air panas ke dalam cerek itu. Dengan tergesah-gesah dia mengambil nyiru di atas gentong air. Beras yang sudah ditapis dimasukan ke dalam periuk. Dengan cekatan mama mengambil irus di sela dinding rumah yang terbuat dari bambu. Dengan tenaga yang tersisah, dia mengaduk beras di dalam periuk.

"Kristian, saat tutupan periuknya terbuka, kamu mengaduk beras dalam periuk dengan irus. Nah, kalau airnya sudah kering, kamu harus meratakan bara api biar nasinya matang," pesan mama.

Dia mengambil kedua gelas kopi dan menuju ruang tengah. Luasnya tidak berbeda dengan dapur. Dua menit berselang gelembung-gelembung putih menjatuhkan tutupan periuk nasi.

"Prakkk...," tutupan priuk membentur tungku api.

"Cepat keluarkan kayu bakar dan ratakan bara api biar nasinya matang!" teriak mama dari ruang tengah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun