Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Situs Bersejarah "Watu Nggene" yang Terlupakan

4 Juni 2019   10:44 Diperbarui: 4 Juni 2019   10:57 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Faris Lopaz (Grup FB Waelengga Milenial Literasi)

Ketika menjalani pendidikan awal di Sekolah Dasar Katolik Waelengga, Bapak Benediktus Rodja, guru IPS-ku pernah berujar, "Di belakang gedung sekolah ini ada situs bersejarah yang ditinggalkan." 

Bapak Guru menjelaskan situs itu dengan berapi-api. Aku tidak percaya dan mengerti penjelasan Bapak Guru, apa lagi berkaitan dengan situs bersejarah. Dalam benakku hanya ada pohon asam, pohon jambu mete (anak Waelenga bilang: jambu mente), pohon lontar (anak Waelengga bilang: pohon koli), hutam lamtoro dan sebuah bukit yang dinamakan Watu Nggene.

Selepas kelas, bersama beberapa teman, kami mencoba mencari kepastian tentang penjelasan Bapak Bene. Kami menyusuri jejak situs bersejarah itu dengan mengenakan kostum olah raga yang dipakai setiap hari Jumat.

Setelah berjalan kurang lebih tiga ratus meter, suatu pemandangan indah terpampang di depan mata. Aku mengingat apa yang dikatakan Bapak Guru, "Batu yang ada di belakang SD kita ini merupakan batu 'Menhir'. 

Menhir adalah tugu atau batu yang tegak, yang sengaja di tempatkan di suatu tempat untuk memperingati orang yang sudah meninggal. Batu tegak ini berupa media penghormatan dan sekaligus lambang bagi orang-orang yang sudah meninggal."

Bulu badanku berdiri ketika mengingat bahwa batu itu ditempatkan untuk mengenang orang yang sudah meninggal. Aku merasa seperti berhadapan dengan orang-orang mati. Dengan gesit aku mengambil kedua sendal dan bersiap-siap untuk berlari secepat mungkin.

Dok. Faris Lopaz (Grup FB Waelengga Milenial Literasi)
Dok. Faris Lopaz (Grup FB Waelengga Milenial Literasi)

Kegentingan semakin menyelimuti diri ketika seorang sahabat berujar demikian, "Batu ceper ini adalah meja makan mereka. Sedangkan batu lonjong yang berdiri tegak ini adalah tiang rumah mereka." Aku kemudian berpikir, jika batu lonjong itu tiang rumah mereka berarti kami sedang berada seatap dengan mereka.

Seorang sahabat dengan kekonyolannya bertanya, "Di mana tungku api, tempat tidur, dan kamar mandi mereka?" Karena merasa diejek, sahabatku yang tahu tentang situs itu kemudian menakut-nakuti kami, "Jangan banyak bertanya. Nenek moyang di sini masih tidur. Kalau mereka bangun nanti kita sakit."

Pernyataan yang terlalu jujur sekaligus menakutkan itu membuat kami beranjak ke situ yang lain. Setelah berjalan kurang lebih lima puluh meter dari situs pertama, kami menemukan situs batu menhir lainnya. Situs ini telah dilindungi. Pagar besi yang terbuat dari empat tiang dan dua belas besi lainnya memperindah situs bersejarah bagi masyarakat Waelengga, Kelurahan Watu Nggene ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun