Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Engkau, Bangku Tua, dan Cinta

24 Mei 2019   09:23 Diperbarui: 24 Mei 2019   09:51 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore itu cukup cerah dan sepi. Aku memposisikan diri pada sebuah bangku tua di sudut rumahku sambil menyaksikan warga kampung yang melintasi jalan. Aku mengisi waktu luang sambil merasakan sapaan alam yang menyejukkan hati. Tapi, sore ini bangku tua itu tampak begitu sepi. 

Aku sendiri juga enggan menyandarkan tubuhku padanya sambil merasakan sentuhan alam sekitar. Aku berharap ada orang yang merebahkan tubuhnya pada bangku tua itu, untuk menemaniku bercerita sebelum hari ini berlalu.  

***

Sambil menyelesaikan pekerjaan kecilku, aku melempar pandang pada bangku tua itu.  Di mataku tampak sosok seseorang yang tidak asing lagi bagiku. Dia duduk membisu sambil menatap menara gereja yang menjulang tinggi menuju langit. Aku mencoba mendekatinya.

"Selamat sore," sapaku.

Ia hanya mengangguk, tanda  menjawab sapaanku. Aku mencoba membuka pembicaraan, namun ia hanya menatapku. Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Enggan rasanya bagiku untuk melanjutkan pembicaraan.

"Dulu, dia suka bercanda ria bersamaku di tempat ini, pada bangku yang sama, yang sudah tua ini. Bahkan di tempat ini kami menghabiskan waktu luang, ditemani berbagai cerita yang menggetarkan hati dan menyentuh  jiwa. Tapi, mengapa engkau sekarang menjadi begitu berubah?" gumamku dalam hati.

Kehadiranmu yang tak terduga membuat aku bertanya, apa maksud kedatanganmu. Dari raut wajahmu tersirat beribu pertanyaan. Seakan-akan engkau datang dengan setumpuk penderitaan. Mungkin ada banyak hal yang mestinya engkau katakan di sini, namun engkau diam seribu bahasa. Berat rasanya mulutku untuk mengatakan sesuatu.

"Katakan, katakanlah apa yang engkau bawa dalam hatimu, perasaanmu, pikiranmu dan jiwamu. Siapa gerangan yang sekarang ini dekat di mata namun jauh di hati. Di antara kita seakan-akan membentang jurang yang dalam, kebisuan. Imajinasiku pun terbuang jauh ke belakang  ketika pertama kali aku mengenalnya beberapa tahun silam," protesku dalam hati.

Aku melanjutkan, "Dulu, dia dikenal sebagai pribadi yang humoris, suka bercanda, suka menyapa dan terkadang cerewet. Namun, dia yang kukenal sekarang sungguh berbeda dengan dia yang aku kenal pada waktu itu. Sebenarnya engkau harus tahu, siapa aku di matamu sekarang.  Namun engkau diam saja. Maksudku dan maksudmu pun membatin," aku menutup wajah menatap ketidakpercayaan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun