"Aten, semoga kami tidak digusur, ya". Demikianlah sebuah nada penyerahan yang kudengar dari mulut wanita separuh baya. Atas dasar pernyataan itulah aku berani berefleksi demikian.
Pada dasarnya keberadaan seorang ibu di tengah kehidupan anaknya selalu memberikan kebahagiaan. Tidak ada tangis ataupun derita. Kebahagiaan selalu terpancar dari wajah anak-anaknya. Namun, aku sanggup mengeluarkan ungkapan ini di saat hidup menampakkan ketelanjangan itu. Betapa tidak, aku menangis ketika berhadapan dengan realitas di depan mata. Ibu memang sadis. Anak-anak dibiarkan terlantar dalam penderitaan yang mungkin tak'kan berakhir hingga tujuh turunan.
Apakah Tuhan menutup mata-Nya? Pertanyaan ini mungkin bisa memuaskan hatiku ketika melihat wajah mereka. Sejuta kesedihan kujaring dari wajah-wajah anak pantai Kampung Nelayan yang kini menjadi misiku dalam mengasah semangat kemisionarisanku. Aku mungkin bisa melontarkan sejuta nada penolakan, namun mereka tetap berbahagia dengan keadaan mereka sekarang ini. Aku merasa bahagia dengan mereka.
Pernah dalam suatu kesempatan aku tertidur lelap di atas sebuah sampan nelayan. Aku merasakan sejuta keindahan alam bumi Cilincing yang sudah ternodai oleh para nahkoda negeri ini. Sampai kapan mereka harus menderita? Aku terus bergejolak di tengah arus lautan yang terus mengganggu kenyamananku.
Pergolakkan itu bukan soal apa dan bagaimana, tetapi lebih pada mengapa. Mengapa mereka harus hidup seperti ini? Ya, mungkin inilah hidup mereka. Aku harus kuat dengan semua yang terjadi. Satu misiku kini adalah menjadi garam yang memberi rasa berbeda di tengah lautan hidup mereka. Ya, tentunya garam itu kutimbah dari Dia Sang pemberi rasa yang baik. Semoga keberadan kau, aku dan dia bisa membuat mereka tersenyum. Dengan menjadi garam kita mampu mengembalikan kekuatan mereka yang terus bersuara dalam tanya: "Ibu Mengapa Engkau Begitu Kejam?"
Yogyakarta, 20 Januari 2019Â