Mohon tunggu...
Mochamad AtamiRidwan
Mochamad AtamiRidwan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UPN Veteran Jakarta

Mahasiswa UPN Veteran Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

UU Defamasi: Paradoks Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat di Indonesia dalam Perspektif Libertarianisme

22 April 2021   10:56 Diperbarui: 22 April 2021   11:39 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan sebuah elemen penting yang tidak dapat dipisahkan dari seorang individu terutama menyangkut dalam hal politik di negara yang menganut paham demokrasi. Elemen ini pada dasarnya menjadi "senjata" bagi masyarakat sipil untuk "melawan" tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah serta lembaga-lembaga negara yang dinilai mengarah pada tindakan abuse of power. Tentunya tindakan ini memiliki berbagai arah dan tujuan namun yang perlu digaris bawahi adalah abuse of power ini dilakukan dalam rangka membelenggu kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat sipil yang pada hakikatnya dalam demokrasi sendiri diletakan sebagai sistem control terhadap pemerintah baik secara keterwakilan maupun secara partisipasi atau langsung.

Di Indonesia sendiri terjadi polemic yang begitu besar perihal kebebasan berekspresi dan berpendapat terutama dengan keberadaan uu defamasi yang tercantum di dalam UU ITE pasal 27 ayat (3). Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Menurut kajian hukum sendiri menjelaskan bahwa pasal tersebut terbilang masih memiliki kekurangan terutama dalam hal menafsirkan apa yang diklasifikasikan sebagai tindakan pencemaran nama baik. Pasal 27 ayat (3) juga tidak memberikan sebuah syarat penting yang mengatur muatan penghinaan dan pencemaran nama baik dengan tidak memberikan syarat pembuktian kebenaran untuk kepentingan umum dan adanya indikasi menyamaratakan seluruh muatan penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut dengan menghilangkan syarat delik aduan sebagai salah satu syarat penting dalam tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik (Mahrus Ali: 2010: 123)

Dengan masih ditemukannya kekurangan dalam pasal tersebut, sangat berpotensi sekali digunakan sebagai alat kekuasaan dalam menjerat masyarakat sipil baik kalangan akademis maupun non akademis yang melancarkan kritik tajam terhadap pemerintah sendiri. Tentunya yang paling penting adalah pasal tersebut juga berpotensi besar membelenggu masyarakat sipil untuk bisa bebas berekspresi dan berbicara melalui berbagai saluran sehingga tentunya hal ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip demokrasi namun juga terhadap hak dasar masyarakat sipil sebagai warga negara.

Defamasi merupakan sebuah aturan hukum yang dimuat dalam rangka menghukum mereka yang menghina lembaga negara. Secara historis aturan ini pada awalnya memang sebagai warisan zaman konial belanda dimana kala itu diberlakukan bagi mareka yang menghina Ratu pada zaman colonial. Seperti yang diungkapkan dalam diskusi yang diselenggarakan Universitas ATMA JAYA, dalam sesi diskusi tersebut dijelaskan bahwa terdapat sebanyak 72% pelapor aduan UU ITE menggunakan pasal pencemaran nama baik (defamasi). Pejabat publik menjadi pihak yang paling sering melapor. [1]

Adanya kondisi seperti ini menyebabkan ketakutan masyarakat untuk bebas dalam berekspresi dan berpendapat mengenai politik hingga menurut survei yang dilakukan oleh SMRC menunjukkan bahwa semakin banyak masyarakat sipil yang takut berbicara masalah politik terlebih beberapa tahun terakhir.[2] Perlu di sadari bahwa dalam demokrasi sendiri lembaga negara menjadi objek yang patut untuk dikritisi karena sebagai bentuk pengawasan kepadanya. Berbicara mengenai presiden misalnya ketika kritik tajam ditunjukkan kepadanya hal itu mengarah kepada presiden sebagai lembaga negara, bukan sebagai pribadi atau seseorang. Lantas hal ini terkadang yang membuat sebagian kita takut untuk menuangkan pendapat tentang kebijakan yang ditempuh pemerintah yang sekiranya sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral serta jauh dari asas keadilan.

Kebebasan berkespresi dan juga berpendapat pada dasarnya telah tertulis di dalam konstitusi di Indonesia seperti di dalam pasal 28E ayat (3) yang mengemukakan bahwa "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Kemudian penafsiran dari pasal tersebut diakomodir melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Pasal 1 ayat (1) "kemerdekaan menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.".

Libertarianisme sendiri memandang bahwa kebebasan berekspresi dan juga berpendapat adalah bagian dari hak alamiah setiap individu. Sehingga pemerintah patut untuk melindungi hak alamiah tersebut. Dalam pandangan libertarian bahwa hak setiap individu tidak terbatas selama tidak tidak melanggar hak orang lain (David Boaz: 73). Pandangan yang lebih ekstrem bahkan disampaikan oleh Mill terkait dengan kebebasan berbicara dimana Mill sendiri menganggap bahwa dengan keberadaan kebebasan berbicara tidak akan membahayakan orang lain sebab ini menjadi sebuah momentum untuk menguji keyakinan seseorang melalui diskusi bebas dan terbuka untuk mengetahui pandangan seseorang benar atau salah (David Brom Wich dan George Kateb: 180). 

Pandangan Mill sendiri terlihat sebagai hal yang menjunjung tinggi nilai-nilai individualism dimana tidak ada yang menghalangi individu untuk berkembang. Kebebasan yang dimaksud Mill diatas sangat relevan apabila diletakkan di dalam relasi antara masyarakat sipil dengan pemerintah. Bahwa pemerintah tidak memiliki kapasitas untuk menutup ruang kebebasan berekspresi masyarakat dan berpendapat disamping itu menodani hak masyarakat sipil juga tidak sesuai dengan prinsip demokrasi sendiri. Kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat diartikan sebagai wujud partisipasi masyarakat di dalam politik.

Pemerintah sendiri tidak perlu melindungi diri dari serangkaian aktivitas kritik yang banyak dilontarkan kepadanya terlebih bahwa perlindungan bagi pemerintah sendiri berdampak kepada ketidak mampuan masyarakat untuk bebas berekspresi dan berpendapat sebab yang seharusnya di lindungi adalah keberlangsungan kebebasan berpendapat itu. Memang yang menjadi pedoman terbaik bagi masyarakat sendiri terkait dengan kebebasan berekspresi dan juga berpendapat menurut perspektif libertarian adalah kebebasan yang tidak mengganggu dan merugikan individu.

Sejatinya pasal tersebut mencerminkan hal seperti itu dimana tindakan pencemaran nama baik dan penghinaan merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dan ini yang menjadi pembatas terhadap kebebasan individu. Namun sejatinya bahwa pasal tersebut lebih tepat untuk mengatur hubungan individu dengan individu lain di kehidupan sosialnya. Sebagaimana yang dipahami kaum libertarian tentang hal ini dimana ketertiban seperti ini terutama menyangkut relasi antara pemerintah dan individu merupakan tindakan sangat menunjukkan kekuatan otoritas yang sangat besar berbeda dengan pandangan libertarian dimana kekuatan otoritas harus dibatasi sebab pemerintahan yang terbatas menjadi pondasi yang bersifat mendasar bagi kaum libertarian sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun