Mohon tunggu...
ASWAN NASUTION
ASWAN NASUTION Mohon Tunggu... Kontributor Tetap

Menulis adalah bekerja untuk keabadian” Horas...Horas ..Horas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merk Teh Lokal : Teh Sidamanik

12 Oktober 2025   07:53 Diperbarui: 12 Oktober 2025   07:53 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merk Teh  Lokal : Teh Sidamanik

 

Di ketinggian 800 sampai 1.100 meter di atas permukaan laut, kebun teh Sidamanik berdiri gagah seolah ingin berkata, Hei, tidak semua yang tinggi itu sombong !!. Di sanalah udara sejuk menari di antara pucuk-pucuk daun teh, curah hujan datang dengan sopan, dan setiap helai daun menyimpan rahasia rasa yang tak bisa diseduh sembarang hati. Teh Sidamanik bukan cuma punya warna seduhan yang cantik dan aroma yang menenangkan, tapi juga punya karakter kuat---seperti orang pegunungan yang terbiasa menanjak, tapi tetap santai di warung kopi. Tak heran, setiap tegukan teh ini seperti pelukan hangat dari alam. Seperti kata Buya Hamka, Kenikmatan hidup itu bukan pada banyaknya harta, tapi pada tenangnya jiwa. Dan percayalah, secangkir teh Sidamanik di udara sejuk pegunungan bisa menenangkan jiwa lebih cepat daripada notifikasi gajian masuk.

Sejarah teh Sidamanik itu ibarat kisah cinta panjang antara tanah subur, hujan yang setia datang, dan manusia yang tak pernah bosan memetik harapan dari pucuk daun hijau. Dimulai sejak tahun 1898 di Rimbun Hulu---ketika percobaan menanam teh belum berbuah manis---hingga akhirnya pada 1917, perusahaan Belanda NV NHM datang membawa bibit serta ambisi dan membuka kebun secara resmi. Pabrik Bah Butong pun berdiri gagah pada 1927, lalu beroperasi empat tahun kemudian, menyeduh aroma ekonomi ke udara pegunungan. Setelah Indonesia merdeka, teh Sidamanik ikut mengibarkan daun-daunnya bersama merah putih lewat PTPN IV, sang pengelola baru. Dari situ, teh ini menyeberang lautan---dieksport ke China, Thailand, bahkan India---seolah berkata, Dari Sidamanik untuk dunia. Meski kini kadang digoda oleh sawit dan tantangan zaman, teh Sidamanik tetap berdiri tegar di lereng sejarahnya, seperti kata Ir. Soekarno, Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasanya. Maka mari kita hargai secangkir teh Sidamanik---karena di balik setiap seduhannya, ada sejarah, perjuangan, dan sedikit aroma Belanda yang masih malu-malu pamit.

Kalau teh Sidamanik diibaratkan manusia, mungkin dia tipe yang kalem tapi berkarakter---nggak neko-neko, tapi meninggalkan kesan mendalam di lidah. Dari Broken Peko, PF, sampai Dust, tiap jenisnya punya kepribadian sendiri: ada yang lembut seperti puisi pagi, ada yang kuat seperti omelan ibu saat kamu bangun kesiangan. Warna seduhannya merah menggoda, rasanya sedikit sepat tapi justru di situlah letak pesonanya---teh ini tidak berusaha manis, tapi jujur pada cita rasanya sendiri. Aromanya membawa hawa pegunungan, seolah setiap tegukan adalah napas dari alam Sidamanik yang segar dan penuh kehidupan. Tak heran kalau pecinta teh sejati sering bilang, Teh itu bukan sekadar minuman, tapi meditasi cair. Seperti kata WS Rendra, Hidup adalah kerja seni. Nah, menyeduh teh Sidamanik pun begitu --- seni kecil yang menenangkan, apalagi kalau ditemani cemilan dan obrolan yang nggak perlu serius-serius amat.

Kebun teh Sidamanik bukan sekadar tempat daun dipetik dan diseduh, tapi panggung hijau tempat manusia, alam, dan sejarah bergandengan tangan sambil ngopi teh bareng. Di sini, pengunjung bisa memetik daun teh langsung dari sumbernya --- sensasinya mirip panen cuan, tapi yang didapat aroma segar dan foto estetik buat story. Udara pegunungannya begitu bersih sampai paru-paru rasanya ikut berterima kasih, sementara panorama hijaunya bikin hati adem dan pikiran lupa cicilan. Sidamanik bukan cuma wisata, tapi juga warisan budaya; setiap pucuk teh bercerita tentang kerja keras, kesederhanaan, dan cinta pada tanah sendiri. Seperti kata Gus Dur, Humor adalah tanda orang berpikir sehat. Nah, mungkin itulah kenapa orang yang pulang dari Sidamanik selalu tersenyum --- bukan cuma karena tehnya enak, tapi karena hatinya ikut diseduh oleh ketenangan alam dan kehangatan budaya yang tak lekang waktu.

Kalau kamu mengira semua teh itu sama, berarti kamu belum kenal teh-teh dari Sidamanik---daerah yang seolah diciptakan Tuhan sambil menyeruput teh hangat di pagi berkabut. Pertama, ada Teh Hitam Bah Butong, si preman elegan dunia teh: warnanya merah menggoda, rasanya kuat tapi sopan, sepat sedikit tapi bikin nagih. Lalu, Broken Peko, BOP, dan Dust --- ini bukan nama boyband Korea, tapi varian teh yang diekspor ke luar negeri. Masing-masing punya karakter: ada yang halus, ada yang agak bertekstur, cocok buat kamu yang suka petualangan rasa tanpa harus naik gunung. Terakhir, Teh kemasan PTPN IV, teh lokal yang mungkin tak tampil di iklan televisi, tapi rasanya bisa mengalahkan teh mahal di kafe kota besar. Seperti kata Chairil Anwar, Aku ingin hidup seribu tahun lagi---nah, setelah meneguk teh Sidamanik, kamu mungkin ingin menyeruputnya seribu kali lagi.

Kisah konversi kebun teh Sidamanik ke sawit ini seperti drama sinetron prime time: penuh konflik, pro-kontra, dan janji manis yang masih menggantung di udara sejuk pegunungan. PTPN IV bilang, "Tenang, ini cuma lahan tidur yang dibangunkan," tapi masyarakat sekitar merasa, "Jangan-jangan nanti mimpi hijau kami malah berubah jadi sawit semua." Bupati Simalungun, DPRD Simalungun, sampai organisasi pemuda kompak menolak, karena khawatir daun teh yang dulu menenangkan kini tergantikan oleh daun sawit yang tak bisa diseduh. Padahal, Sidamanik bukan cuma kebun, tapi identitas dan kebanggaan daerah---warisan yang aroma tehnya sudah sampai ke mancanegara. Kalau semua diganti sawit, siapa nanti yang menyeduh kenangan? Seperti kata Mohammad Hatta, Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi karena lilin-lilin di desa. Nah, Sidamanik itu salah satu lilin itu---menyala hijau di antara kabut, menebar wangi teh, sambil berharap tak padam oleh kilau minyak sawit.

Teh Sidamanik memiliki cita rasa yang tidak mudah ditiru, karena faktor lingkungan tumbuhnya unik---antara lembap dan hangat, dengan kelembapan alami yang menjaga daun teh tetap berkualitas tinggi.- Dr. Ir. Sahat Simanjuntak, M.S

Horas Hubanta Haganupan.

Horas ...Horas ... Horas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun