Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atau lebih dikenal dengan istilah inkracht van gewijsde, adalah suatu kondisi di mana sebuah putusan pengadilan sudah final dan tidak dapat lagi diajukan upaya hukum biasa seperti banding atau kasasi. Artinya, putusan tersebut dianggap sah dan mengikat secara hukum. Sebuah putusan pengadilan menjadi inkracht melalui beberapa cara: Tidak Ada Upaya Hukum: Pihak-pihak yang terlibat (Jaksa Penuntut Umum dan/atau terdakwa) tidak mengajukan banding dalam kurun waktu 7 hari setelah putusan dibacakan di pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri). Upaya Hukum Telah Habis: Setelah putusan tingkat pertama, pihak yang tidak puas bisa mengajukan banding. Jika banding ditolak, mereka bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Ketika semua upaya hukum biasa ini telah habis, putusan terakhir (dari Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung) secara otomatis menjadi inkracht. Penerimaan Putusan: Pihak-pihak yang terlibat menyatakan menerima putusan yang dijatuhkan, sehingga tidak ada lagi upaya hukum yang akan diajukan.
Konsep inkracht secara umum didasarkan pada prinsip hukum acara pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan bahwa surat putusan pemidanaan harus memuat "ketentuan kepada siapa putusan itu dapat dimintakan banding atau kasasi. Pasal 233 KUHAP mengatur batas waktu dan tata cara pengajuan kasasi. Pasal 244 KUHAP menegaskan bahwa kasasi adalah upaya hukum terakhir yang diberikan oleh undang-undang. KUHAP tidak secara eksplisit mendefinisikan "inkracht," tetapi konsep ini muncul dari pengaturan mengenai jangka waktu pengajuan upaya hukum. Begitu jangka waktu tersebut terlewati tanpa ada pengajuan, putusan secara otomatis dianggap berkekuatan hukum tetap.
Ketika sebuah putusan telah inkracht, konsekuensi hukumnya sangat penting: Eksekusi Putusan: Jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan wajib segera melaksanakan putusan tersebut, baik itu pemidanaan, pembebasan, maupun putusan lainnya. Final dan Mengikat: Putusan tidak bisa lagi diubah melalui jalur hukum biasa. Status hukum terdakwa sebagai terpidana, bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum adalah final. Bisa Diajukan Upaya Hukum Luar Biasa: Meskipun putusan sudah final, dalam kasus-kasus tertentu, terpidana masih bisa mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali (PK). Namun, PK ini hanya bisa diajukan jika ditemukan bukti baru (novum) atau ada kekhilafan hakim yang nyata, dan tidak menunda eksekusi putusan yang telah inkracht.
Setelah sebuah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau inkracht, terpidana tidak lagi bisa mengajukan upaya hukum biasa seperti banding atau kasasi. Pada tahap ini, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh terpidana untuk meringankan hukuman atau mendapatkan pembebasan. Dasar hukum utama untuk pengurangan masa hukuman (remisi) karena berkelakuan baik bagi narapidana di Indonesia: UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakata, PP Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi..
1. Upaya Hukum Luar Biasa (Peninjauan Kembali)
Ini adalah satu-satunya upaya hukum luar biasa yang bisa diajukan oleh terpidana setelah putusan inkracht. Prosedur ini diajukan ke Mahkamah Agung (MA) dengan syarat yang sangat ketat. Syarat Utama: Adanya bukti baru yang disebut novum. Bukti ini harus benar-benar baru, belum pernah diajukan sebelumnya di persidangan, dan bersifat menentukan sehingga bisa mengubah putusan. Contohnya, ditemukan dokumen penting yang membuktikan ketidakbersalahan terpidana. Tujuan: Untuk membuktikan bahwa putusan sebelumnya mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, atau didasarkan pada kebohongan. Jika permohonan PK dikabulkan, hukuman bisa diringankan atau bahkan terpidana dapat dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan.
2. Upaya Administratif dan Keringanan Hukuman dari Presiden
Langkah-langkah ini tidak mengubah putusan pengadilan, tetapi dapat meringankan atau menghapuskan sisa masa pidana. Grasi: Ini adalah hak prerogatif Presiden untuk memberikan pengampunan berupa pengurangan, peringanan, atau penghapusan sebagian atau seluruh hukuman. Terpidana bisa mengajukan permohonan grasi kepada Presiden setelah putusan pidananya inkracht. Pembebasan Bersyarat (PB) dan Cuti Menjelang Bebas (CMB): Ini adalah hak narapidana yang diberikan oleh Kementerian Hukum dan HAM. PB dan CMB memungkinkan narapidana menjalani sisa masa hukuman di luar penjara, dengan pengawasan dan bimbingan, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu seperti: Telah menjalani minimal 2/3 masa pidana. Berperilaku baik selama menjalani hukuman di lapas. Tujuan utama dari PB dan CMB adalah untuk mempersiapkan narapidana kembali ke masyarakat.
3. Rehabilitasi
Rehabilitasi diberikan kepada seseorang yang nama baiknya direhabilitasi karena putusan pengadilan menyatakan bahwa ia tidak bersalah atau bahwa putusan yang menyatakan ia bersalah telah dibatalkan. Ini bertujuan untuk mengembalikan hak dan martabatnya seperti semula. upaya pengurangan masa hukuman karena berkeluan baik bagaimana Tentu. Upaya pengurangan masa hukuman karena berkelakuan baik bagi narapidana dikenal dengan istilah remisi. Ini adalah salah satu hak narapidana yang diatur dalam undang-undang. Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat yang telah ditentukan. Tujuannya adalah untuk memberikan penghargaan atas perilaku baik dan ketaatan mereka selama menjalani masa hukuman, sekaligus memotivasi mereka untuk berintegrasi kembali ke masyarakat.
Dasar hukum untuk jenis-jenis dan besaran remisi diatur secara rinci dalam beberapa peraturan, yang paling utama adalah Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 3 Tahun 2018, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, khususnya Pasal 1 dan permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, khususnya Pasal 3.