Mohon tunggu...
ASWAN NASUTION
ASWAN NASUTION Mohon Tunggu... Kontributor Tetap

Menulis adalah bekerja untuk keabadian” Horas...Horas ..Horas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Restorative Justice

10 September 2025   06:13 Diperbarui: 10 September 2025   06:13 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Restorative justice atau keadilan restoratif adalah pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang fokus pada memulihkan kerugian yang dialami oleh korban, masyarakat, dan pelaku kejahatan. Intinya, pendekatan ini bertujuan untuk memperbaiki hubungan yang rusak akibat kejahatan, bukan sekadar menghukum pelaku.

Dalam restorative justice, semua pihak yang terlibat dalam kejahatan, yaitu korban, pelaku, dan masyarakat, didorong untuk berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan masalah. Tujuannya adalah mencapai kesepakatan yang adil dan memuaskan bagi semua pihak.

Secara historis, konsep keadilan restoratif sebenarnya bukan hal baru. Prinsip-prinsipnya sudah ada jauh sebelum sistem peradilan pidana modern terbentuk. Banyak peradaban kuno, terutama dalam tradisi masyarakat adat di seluruh dunia (seperti suku-suku Aborigin di Amerika Utara dan suku Mori di Selandia Baru), menyelesaikan konflik dengan cara musyawarah untuk mencari solusi yang dapat memulihkan kerugian dan hubungan, bukan hanya menghukum pelaku.

Pada era modern, istilah "restorative justice" mulai diperkenalkan oleh pakar seperti Albert Eglash pada tahun 1970-an. Perkembangan ini muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap sistem peradilan konvensional yang dianggap terlalu berfokus pada hukuman dan mengabaikan kebutuhan korban. Gerakan ini mendapatkan momentum di berbagai negara, diawali dengan program mediasi antara korban dan pelaku (victim-offender mediation) di Kanada dan Amerika Serikat, yang bertujuan untuk mempertemukan kedua belah pihak agar bisa mencapai kesepakatan damai.

Di Indonesia, penerapan keadilan restoratif telah diakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Langkah ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma dari pendekatan pembalasan ke arah pendekatan yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan.

Beberapa dasar hukum penting yang menjadi landasan adalah:

UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA): UU ini adalah salah satu tonggak utama. Pasal 54 UU SPPA secara eksplisit mengatur tentang diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan. Diversi harus dilakukan berdasarkan keadilan restoratif.

Peraturan Kepolisian (Perpol): Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Perpol ini memberikan panduan bagi penyidik untuk menerapkan restorative justice dalam kasus-kasus tertentu, seperti tindak pidana ringan, dengan syarat tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan adanya kesepakatan damai antara korban dan pelaku.

Peraturan Kejaksaan (Perja )  Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan ini memungkinkan Jaksa untuk menghentikan penuntutan jika tercapai perdamaian, pelaku baru pertama kali melakukan kejahatan, dan tindak pidana yang dilakukan tidak terlalu berat (ancaman hukuman di bawah 5 tahun).

Peraturan Mahkamah Agung (Perma): Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan ini melengkapi kebijakan di tingkat penyidikan dan penuntutan, memberikan pedoman bagi hakim untuk menerapkan prinsip keadilan restoratif dalam proses persidangan dan putusan.

Dengan adanya peraturan-peraturan ini, keadilan restoratif kini menjadi bagian integral dari sistem peradilan pidana di Indonesia, meskipun masih terbatas pada kasus-kasus tertentu. Keadilan restoratif (restorative justice) merupakan sebuah pendekatan revolusioner dalam sistem peradilan pidana. Alih-alih hanya berfokus pada hukuman, keadilan restoratif memandang kejahatan sebagai sebuah tindakan yang merusak hubungan antarmanusia dan komunitas. Tujuan utamanya adalah pemulihan, bukan pembalasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun