anggung yang Terlupakan: Ode untuk Tribun Penonton Lapangan Sepakbola Dobana.
Di Serbelawan ni Huta, rumput lapangan sepak bolanya mungkin tidak sehijau rumput di stadion kelas dunia, namun semangat yang tumbuh di sana jauh lebih subur. Setiap sore, tawa anak-anak dan sorakan pemuda menggaung, menciptakan simfoni khas yang disiarkan langsung oleh alam. Ada kebanggaan yang mengalir, ada mimpi-mimpi yang berkejaran, dan ada satu saksi bisu yang selalu setia menonton: tribun penonton. Namun, belakangan ini, sang saksi seolah tak berdaya. Ia tak lagi tegak kokoh menyambut penonton, melainkan hanya berdiri ringkih, seperti pahlawan yang terlupakan pasca-perang.
Tribun itu kini lebih mirip monumen kegagalan, sebuah panggung bisu yang dulunya penuh sorakan, kini hanya menjadi tempat tumpukan puing dan bisikan angin. Tiang yang berkarat, setiap anak tangga yang tanpa pegaman, dan setiap bangku yang hancur, seolah menceritakan kisah pilu. Mereka dulunya saksi bisu gol-gol indah, tekel-tekel berani, dan drama adu penalti yang mendebarkan. Kini, mereka hanya menjadi penonton tunggal atas sebuah pertandingan yang tidak pernah dimainkan: pertandingan tentang siapa yang paling pintar menghindar dari tanggung jawab.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang bertanggung jawab atas "kematian" tribun penonton Lapangan Sepakbola Dobana? Apakah kita harus bertanya pada burung-burung yang membangun sarang di sana? Atau pada lumut yang setia menutupi setiap retakan? Ada yang bilang, ini tanggung jawab pengurus Kecamatan. Ada pula yang menyentil dinas olahraga Pemudan dan Olahraga Kabupaten. Bahkan, ada yang berbisik bahwa ini adalah ulah alien yang mendarat diam-diam dan gemar mencuri besi. Namun, di balik semua dugaan, satu hal yang jelas: semua pihak yang seharusnya peduli justru sedang sibuk dalam "adu panco" tanggung jawab, atau lebih parah lagi, pura-pura tidak tahu.
Alasannya pun klasik. "Anggaran belum turun," kata salah satu pihak. "Itu bukan domain kami," timpal yang lain. Padahal, lapangan sepak bola adalah jantung sosial sebuah Keluraham/desa. Ia adalah rumah bagi para pemain, sekaligus panggung bagi para pendukung. Ketika tribunnya rusak, itu bukan hanya soal estetika, melainkan juga soal keselamatan dan semangat. Jika semangat bermain bola di Lapangan Sepakbola Dobana begitu membara, mengapa api perbaikan untuk fasilitasnya justru padam? Mungkinkah kita harus menunggu datangnya seorang pesepak bola kelas dunia seperti Sadio Man, yang dengan rendah hati turun tangan membangun fasilitas di kampung halamannya, agar ada yang tergerak untuk memperbaiki tribun ini?
Mungkin inilah saatnya bagi para pemangku kebijakan untuk berhenti bermain teka-teki dan mulai bersikap layaknya seorang kapten tim. Jangan biarkan "rumah" kebanggaan masyarakat ini roboh hanya karena semua orang sibuk saling menunjuk. Sebab, jika suatu saat nanti tribun penonton itu benar-benar rata dengan tanah, maka kita akan kehilangan lebih dari sekadar tempat duduk, kita kehilangan saksi bisu dari mimpi-mimpi yang pernah mengudara. Dan itu, sungguh, bukan akhir cerita yang indah.Sedih kawan, sedih satu sudut tentang kampung halaman kita Serbelawan ni Huta.
Horas Hubanta Haganupan.
Horas ...Horas ... Horas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI