Mohon tunggu...
Astri Syafitri
Astri Syafitri Mohon Tunggu... Aku mencoba

Suka membaca, dan berusaha menjadi penulis agar disukai para pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Lombongo, Ada Cerita di Sini

6 Mei 2018   22:41 Diperbarui: 6 Mei 2018   22:45 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menuliskan cerita 11 tahun yang lalu ini, sebenernya karena termotivasi ajakan Kompasiana pertengahan bulan lalu untuk bercerita Kabar Dari Seberang - Sulawesi Utara, Gorontalo dsk.  Terlambat sih tulisan ini jika ingin mengikuti event Kompasiana tersebut,  tapi tidak mengapa, karena keinginan menuliskan memori ini sebagai pengobat rindu untuk kembali ke sana. 

Pertama kali menginjakkan kaki ke Serambi Madinah, julukan untuk Gorontalo, mengantarkanku ke Desa Lombongo, Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango. Desa Lombongo ini terkenal dengan tempat pemandian air panasnya yang bernama Lombongo, yang termasuk dalam area Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TN BNW). Pemandian air panas alami yang bersumber dari mata air panas yang kaya akan mineral seperti belerang (sulfur), sangat terkenal di Gorontalo. 

Selalu ramai dikunjungi wisatawan terutama pada hari libur, jaraknya pun tidak jauh dari kota Gorontalo hanya sekitar 19 km. Tinggal sementara sebagai anak kos di salah satu rumah di sana, memaksaku menelusuri setiap jengkal rumah untuk mengenali tempat tinggalku selama 1 - 2 bulan kedepan saat tiba. Sebentar, sepertinya ada yang aneh, pikirku saat itu. 

Di mana ya kamar mandinya? Kok aku belum lihat ya dari tadi. Malu bertanya sesat di jalan, sangat kuhayati dan kuamalkan jika berada di suatu tempat baru. "Mbak, kamar mandinya dimana ya?", tanyaku kepada Mbak Poni, saudara pemilik rumah. "Tidak ada kamar mandi Mbak disini,  hanya ada sumur di belakang rumah saya.", jawab Mbak Poni. "Torang mandi di pemandian Lombongo dan ke kali kecil di sana Mbak untuk buang air.", jawabnya sembari mengajakku melihat kali yang dimaksud. " Haaaah? Mbak, gimana kalau aku kebelet buang air besar malam-malam?", panik aku bertanya lagi. 

"Di sini kalau kebelet malam-malam, kita buang air besarnya di batok kelapa, terus dibuang saja Mbak keluar rumah, nanti pagi juga sudah hilang dimakan hewan kok.", jelasnya sambil tersenyum simpul menatapku. Sumpah horor banget membayangkannya, dan aku hanya bisa berdoa, semoga perutku tidak aneh-aneh selama aku kos di sana. Tetap tidak habis pikir, rumah-rumah berdinding batu lumayan bagus, tapi mereka tidak berpikir untuk membuat kamar mandi, malah lebih memilih membeli DVD player, yang pada waktu itu harganya relatif mahal, alasan mereka untuk hiburan. 

Kala itu, Gorontalo masih sepi, menurut data gorontalokota.co.id, pada tahun 2007, jumlah penduduk di Kota Gorontalo sebesar 162.325 jiwa dengan kepadatan penduduk 2.505 jiwa/km2. Bandingkan dengan kepadatan penduduk Jakarta pada tahun 2004, sekitar 13 ribu jiwa/km2 menurut data BPS, 6x lebih padat. Belum ada mall seperti sekarang di Gorontalo, hanya ada satu pusat perbelanjaan modern ramai di kota, yang sedikit lebih besar dari Alfamart di Jakarta. 

Lombongo bahkan lebih sepi, daerah ini hanya ramai Sabtu dan Minggu, karena merupakan tujuan wisata. Aku hanya butuh waktu beberapa hari awal untuk mengenal semua penduduk sekitar Lombongo.  Masa itu, sinyal handphone adalah hal langka, untuk mendapatkannya, aku harus berjalan sekitar 2 km. Perjalanan tidak mulus, karena harus menghindari banyaknya ranjau kotoran sapi sepanjang jalan. 

Jika bosan, aku sering naik bentor dari Lombongo menuju pusat kota, hanya untuk membeli koran supaya aku tetap bisa tahu perkembangan di luar sana. Jika aku ke kota hari Senin sore, koran Kompas hari Sabtu baru tiba. Hari berjalan terasa lamban di Gorontalo pada waktu itu. Sesekali aku mampir ke Warung Internet (Warnet), hanya untuk menghabiskan waktu senggang selepas beraktivitas dan melatih kesabaran saking lemotnya akses internet saat itu. Nikmat lain yang tidak bisa didustakan adalah sedapnya kuliner khas Gorontalo, sarapan nasi kuning nikmat bikinan ibu kos setiap pagi. Berkenalan pertama kali dengan  binte biluhuta dan ikan nike. 

Di Lombongo juga, aku berkenalan dengan "makhluk halus penunggu kali". Sesosok pria yang aku temui jam 3.30 subuh di kali, yang awalnya aku pikir Pak Ais tetanggaku, ternyata bukan, karena menurut Pak Ais, jadwal ke kali setiap hari paling cepat adalah jam 7 pagi. Kata Kepala Desa, yang aku temui adalah penampakan dari pria yang sudah meninggal berapa tahun lalu karena rabies, yang perawakannya mirip Pak Ais tetanggaku. 

Pertemuan dengan "sosok pria" itu membuatku terkenal seantero desa, karena aku langsung sakit perut dan muntah-muntah habis papasan dengannya. Penduduk sana masih sempat menghiburku kala itu. "Mbak masih untung hanya papasan, kalau saja Mbak disenggol, mungkin Mbak sudah meninggal, kayak anak kecil dari kota kemarin, sakit sama seperti Mbak, lalu meninggal.", cerita mereka. Percaya tidak percaya. Berkesempatan diobati dengan cara tradisional Lombongo, beberapa helai rambutku diambil, kemudian dibakar di sumbu api dari botol yang berisi minyak tanah, supaya sembuh kata mereka. 

Kabar Dari Seberang itu, memanggilku untuk bercerita mengenang Lombongo dan Gorontalo. Penduduk yang ramah dan hobi bercerita, menjadi hiburan tersendiri untukku. Apalagi seperti saat ini, mendekati bulan Ramadhan, terkenang suasana religius bulan Ramadhan di Lombongo, dimana setiap rumah bergantian setiap malam mengadakan tadarus Al Quran. Ibadah dan silaturahmi beriringan. Ahh Lombongo, kapan bisa kembali lagi ke sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun