Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Belajar Kerendahan Hati dari Seorang Guru Desa

1 Agustus 2014   21:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:40 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak mudah “Berbagi namun tetap rendah hati”, seperti dikemukakan oleh Rekan Suko Waspodo di http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/07/30/berbagi-namun-tetap-rendah-hati-677113.html. Rekan Suko melontar tentang pembagian zakat jangan menjadi ajang pamer kekayaan diri.

Layak pula kiranya saya kutip tulisan rekan Kompasianer ini : “Menurut pengertian istilah, takabbur (sombong) ialah menampakkan kakaguman diri dengan cara meremehkan orang lain dan merasa dirinya lebih besar dibandingkan dengan orang lain, serta tidak mau mendapat kritik dari orang lain. Juga diartikan sombong adalah membanggakan diri sendiri, mengganggap dirinya yang lebih dari yang lain. Membuat dirinya terasa lebih berharga dan bermartabat sehingga dapat menjelekkan orang lain.” (Tubagus Encep di : http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/07/31/sombong-dengan-prestasi-orang-lain-670926.html)

Susah juga bahkan bagi seorang pendeta untuk rendah hati. Kesombongan itu memang sering lembut menyusup dalam sanubari manusia dalam kesibukan keseharian hingga dalam menjalani peran sebagai pemimpin. Cerita rekan Meyliska berjudul “Penghakiman dari atas mimbar”, merupakan kritik sehat bagi siapa saja, di : http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2014/07/30/penghakiman-dari-atas-mimbar-677109.html. Banyak aspek diungkap. Sopan itu bukti dari adanya kasih.. Sopan membutuhkan kerendahan hati.

Belum lama ini saya secara intensip belajar tentang kerendahan hati orang guru desa... Tentu dalam berbagi disini juga dalam hati saya menyusup sejenis lawan dari rendah hati alias kesombongan.. Dan apabila anda merasakan kesombongan dan narsis menyusup ditulisan ini anggap saja juga sebagai contoh persoalan tentang rumitnya kerendahan hati sejati dan cerdiknya kesombongan itu. Seperti sudah dikutipkan diatas sebagai ilustrasi lawan kata.

Guru desa dimaksud bernama Sumadi Sumoatmojo dari Ganjuran Yogyakarta. Dia berasal dari keluarga seorang hamba Sunan Surakarta. Sumadi belajar di Noormaalsshool Muntilan sampai tahun 1919. Selesai pendidikan disitu bekerja di sekolah desa Ganjuran sebagai guru perintis ditahun itu 1919, merintis mencari murid dan bila perlu minta kepada ortu atau memberi uang jajan calon muridnya. Sebuah prestasi yang menarik perhatian penulis adalah bahwa dia tetap bertahan diposisi sebagai guru melewati beberapa kali tawaran pindah dan kedudukan non guru ditolak sampai umur pensiun. Setelah pensiun baru lebih luas kiprahnya sampai pernah menjadi anggota DPRD kabupaten setempat. Menarik perhatian pula komitmen dan kesetiaan pengabdian melalui zaman Belanda, Jepang, Kemerdekaan, Orba, meninggal tahun 1976.

Menurut pengakuannya sendiri kepada penulis, dan banyak bukti pengakuan orang lain bahwa dia selalu menghormati orang lain. Kepada bekas muridpun dia berbicara dengan gaya halus/hormat menurut tatabahasa Jawa. Kepada penulis sering berkata : “Apa si susahnya menghargai orang lain?”. Diantara bekas murid yang lahir th.1926, memberi kesakasian: “Pak Guru yang halus, dan dalam pergaulan didesanya tidak membedakan si kaya atau simiskin. Semua dihormati dengan sapaan yang halus”

Seorang temannya Sdr.Suratman SH, yang pernah bekerja sama dalam lembaga social kemasyarakatan (1970-1976) bersaksi bahwa Pak guru Sumadi memiliki aura kepemimpinan. Dia mau mendengar pendapat orang lain. Tetapi setelah mereka berdiskusi, kesimpulan dan keputusan yang dia rumuskan selalu disepakati.

Seorang mantan pemuka desa yang penulis tanya bagaimana peran guru desa Sumadi itu didesanya, menjawab : Peran kemasyarakatan sangat besar ditingkat kabupaten, saya dengar dia dihormati semua pihak karena Pak Sumadi menghormati sesaae dan semua diperlakukan setara saja. “Tetapi saya (kata pemuka desa itu) lebih berkesan karena dia bekas guru saya yang mengesan dan saya kagumi.”

Itu semua catatan saya dari “kata orang”.. Penulis sendiri yang menyaksikan perannya dari tahun 1970 – 1976, saya melihat bahwa dia sangat memahami diri sendiri. Dia tahu kemampuannya, sehingga berani ditaruh didepan, diserahi tugas dan kepercayaan.. Tetapi dia tahu batas dirinya dan selalu mau bertanya bila perlu memberi kepercayaan orang lain. Dia selalu legowo..

Maka Kerendahan hati itu berbeda dengan “rasa rendah diri”. Dalam Bahasa asing ada pemakaian kata Humility.(Inggris) = kerendahan hati. Bahasa Latin : Humilis = rendah hati. Dalam Bahasa Latin juga ada kata : Humanus artinya manusiawi. Keduanya menjadi dekat bila dibaca dalam Bahasa Inggris: Humanly…… Rendah hati itu Humble.

Rasanya pemahaman diri yang benar itu juga setara dengan kerendahan hati yang benar. Itu suatu sikap, sifat yang diperoleh berkat pelatihan. Pelatihan yang berhasil membuahkan adanya “disposisi” suatu kesiapan untuk bisa menunjukkan perilaku yang muncul dari jati diri yang spontan nyata bukan sandiwara. Tentang disposisi positip orang sekarang bertanya tentang trekrikort. Keutamaan adalah disposisi positip berkat pelatihan dan berkat bakat.

Selanjutnya kerendahan hati nampaknya secara theologis dekat dan disayang Allah, secara manusiawi sering tidak menarik dan tidak mudah karena manusia cenderung sombong dan dekat dengan sifat Lucifer, ………. Setan kesombongan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun