Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cakap Bercakap-cakap

22 November 2019   11:30 Diperbarui: 22 November 2019   11:47 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa waktu yang lalu (3 Nop) tertulis di akun Facebook kata-kata ini: "Cakap = pinter. Bercakap cakap= omong2.  Pinter omong itu sekarang banyak pakarnya...."   Dari lima komentar, banyaknya menyindir/mengasosiasikan yang disebut pakar itu anggota MPR/DPR/Politisi. Mengapa belum disebut para pengamat, komentator dan oratores demo. 

Orang Jawa sering suka bermain kata seperti ini: Ndelok (melihat) = kendel alok = berani komentar (melihat itu suka-sukalah komennya); tambah lagi "ora tombok" (tidak bayar). Dizaman mudanya ayah saya konon Barbershop itu tempat politisi rakyat bertukar pendapat dalam forum bebas terbuka. Jadi dulu ada politik, pakar, Barbershop-mimbarpol,pakar-pol-Tukang cukur......!

Dari tanggal 20 September hingga 25 Oktober yl. Saya sengaja tidak menulis di mana-mana, karena cepatnya dinamika masyarakat dan cara dan langkah berfikir serta bersikap mereka. Mengikuti peristiwa demi peristiwa banyak hal bisa kita petik berupa pesan, kesan, hikmah, narasi, opini, pembelajaran untuk hidup, yang semuanya saya suka sebut bagi diri pribadi saya dengan Pengalaman akan Nilai.

Karena semua itu berangkat dari fakta selain nyata/realistic dan semua bisa melihat dan mengalami sendiri, maka semua yang tampak itu sama-sama merupakan kenyataan bagi pribadi masing-masing dalam cara dan pemahaman beda-beda. Maka mestinya menjadi sebuah narasi tersendiri dan justru itu bisa menjadi alasan anda membaca tulisan saya ini. 

Apa yang saya terimasebagai pembelajaran selama itu adalah sebagai berikut :

Pertama, Peristiwa Cakap Bercakap-cakap. Banyak percakapan, pendapat, berkembang menjadi opini dan narasi pembertaan dan topic pembahasan. Maka Percakapan itu sendiri seperti merupakan kejadian yang layak dinarasikan, direspon diperdebatkan. Unsur pendukung dari peristiwa Cakap bercakap adalah politisi, mahasiswa, tokoh masyarakat, orator demo, dan media. Dalam media pasti TV,  juru warta, penulis artikel, cuitan, dan curhatan.  Substansi dan meteri yang saya anggap signifikan: Kepentingan kebebasan masyarakat sipil terancam, UU KPK, Hak prerogatip presiden. Dan pasti selanjutnya tentu saja akan ada topic baru yang akan muncul.

Kedua, Masalah adalah api pemanas kejadian dan peristiwa. NKRI dan Presiden sepertinya terbakar oleh api masalah yang dimunculkan dari Peristiwa Cakap-narasi yang terjadi. Eloknya Hak prerogatip Presiden belakangan yang ditunggu-tunggu dapat meneduhkan gejolak peristiwa dan meredam suara sumbang bagi NKRI.

Sepertinya hak presiden ini yang didasarkan pada undang-undang, menjadi tambak banjirprotes dan silang pendapat. Hak itu kendati tidak banyak relative yang melontarkan tetapi akhirnya besar pengaruhnya pada gelombang kontroversi yang terus bergulung.. Dalam gelombang kontroversi itu harus dilihat adanya Perubahan, berlakunya Prinsip/ketentuan umum, mencuatnya keterbatasan dan Kebebasan Kehendak.

Keterbatasan hendaknya dimengerti semua yang merupakan kekurangan, kekeliruan, atau tuntutan, terkatakan maupun belum/tidak dikatakan. Unsur-unsur itu harus di pertimbangan dalam membuat pernyataan evaluatif terhadap solusi yang diambil.

Ketiga, Sikap Terhadap Masalah dan buahnya sikap itu. Sikap itu belum pasti menjadi solusi. Sikap itu baru dasar dari proses menuju solusi. Sangat hakiki didalam proses itu adalah: Pelaku, kapasitas pelaku, pengaruh pelaku terhadap lingkungannya. Lalu pilihan terhadap kesenjangan yang akan dijembatani, dan tentulah Keputusannya. Dari masalah yang ditampilkan Pengambil Keputusan (saatitu Presiden) bisa dikatakan tidak menjawab masalah dengan solusi seperti yang dituntutkan tetapi sebenarnya membuat penundaan atau pending. Penundaan sampai kesenjangan tidak dicuatkan, penuntut mau menunggu. Maka pending untuk pematangan situasi berhasil meredakan tuntutan. Masalah berhenti karena dalam proses unsur-unsur masalah berubah/diubah dengan pematangan. Maka sekilas bisa juga dikatakan masalah tidak di berikan jawaban dengan solusi langsung, tetapi pending dan menanti jalannya proses.

Catatan tambahan saja: Hak Bicara (a.l. Hak prerogatip Presiden, hak berpendapat Rakyat) yang bersama diakui dan dihormati kadang dilupakan, sehingga justru terjadi "Peristiwa Bercakap Pinter berpendapat" membingungkan Rakyat pula. Tetapi itu memang bagian dari Proses dan "Cara pendekatan" yang mereka ambil serempak, sehingga justru sempat terjadi riuh rendah iklim politik negeri.

Berbicara mengenai Hak, tidak seimbang bila tidak bicara perihal Tanggung Jawab. Sejauh melihat secaraglobal apa yang ternyata terjadi, maka Presidenlah memikul tanggung jawab berat berdasarkan UU. Demikian juga orang yang sempat menyebut "hak prerogative presiden",  demikian kepadanya seakan-akan harus dibebani tanggung jawabnya pula.

Sementara bila saya belajar dari  Les Giblin dalam tulisannya Skillwith People tentang ketrampilan mengelola lingkungan social Presiden sebagai Pemegang Hak prerogatip memiliki kebijakan dan kecerdasan membuat cara pendekatan yang khas dan berhasil sementara itu menata proses percaturan negeri ini.

Akan tetapi juga Pihak Media dan Pembicara intensip seperti mereka yangberbicara di program-program TV yang manapun mereka itu, menurut saya banyak yang cakap bercakap-berbicara menurut / pinjam istilah Les Giblin lagi: dalam"Cara Trampil melakukan percakapan", a.l. "berbicara apa yang menarik pendengar".  Dan untuk yang demikian sebenarnya Media sekedar menyampaikan apa yang menjadi kehendak masyarakat pembaca, maka tanggung jawab juga terletak pada kita2 bersama sebagai masyarakat yang masih mau terbawa issue kesana kemari oleh suara kicauan burung.

Setelah ketiga pembelajaran tersebut diatassaya masih membuat kesimpulan lagi bahwa :

1.    Media Sosial dengan kecanggihan teknologinya sangat efektif kerjanya dan besar pengaruhnya baik dalam membuka membela kebenaran, juga termasuk efektip disalahgunakan oleh yg kurang bertanggung jawab.

2.    Patut disyukuri warga negeri ini masih bisa menghargai prinsip yang sudah disepakati.

3.    Pemegang Hak prerogatip memiliki kebijakan dan kecerdasan membuat cara pendekatan yang khas dan berhasil sementara ini menata proses percaturan negeri ini. Sic.

Akhirulkalam tidak kusampaikan salam agamis tetapi salam di jaman revolusi nasional kita : M e r d e k a.

Ganjuran, 11 Nopember2019. Emmanuel Astokodatu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun