Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Marilah Kita Berdoa Menurut Agama dan Kepercayaan Masing-masing

15 November 2015   12:00 Diperbarui: 4 April 2017   16:53 1494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Serius, Saya bersyukur dinegeri ini masih bisa kita dengar kata-kata itu : “Marilah kita berdoa menurut Agama dan Kepercayaan kita masing-masing…., doa mulai.” Hening.

Dan saya amat sangat bersyukur bisa membaca saja, berita, yang saya tidak malu kopi paste ini : “Sesaat menjelang pemberangkatan jenazah Mgr Johannes Pujasumarta dari Gereja Katedral Semarang menuju Seminari Tinggi Santo Paulus Yogyakarta, di tengah lagu “Ndherek Dewi Maria” yang dinyanyikan umat yang hadir, Pastor Aloys Budi Purnomo Pr mempersilakan dan Kiai Budi Hardjana, pengasuh Pondok Pesantren Al Islah Meteseh, Tembalang, untuk menghadirkan tarian sufi dengan iringan lagu itu. Kiai itu maju dan berdiri di samping peti jenazah, memberi hormat lalu mulai menari selama lagu dinyanyikan. ……. demi persahabatannya dengan Mgr Puja. “Tarian sufi itu juga dipersembahkannya sendiri sebagai tanda persahabatannya dengan mendiang Bapak Uskup Agung Semarang itu yang setiap Hari Raya Idul FItri bersilaturahmi ke pondoknya. Bahkan di saat sedang berjuang dengan sakit yang dideritanya, Mgr Pujasumarta tetap bersilaturahmi ke Ponpes Al Islah pada Hari Raya Idul Fitri 2015,” kata Pastor Budi Purnomo dalam siaran pers yang disampaikan kepada wartawan Katolik.”

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/suhindrowibisono/rip-uskup-mgr-pujo-sumarta_56462117f27a61150e96a2e4

Alangkah indahnya apabila kita bersama semakin akrab dan damai tanpa kita kehilangan jati diri dan iman kita masing masing didalam hidup bermasyarakat di negeri ini. Tetapi kendati setiap hari hatiku damai saja mendengar lantunan adzan, saya belum bisa membayangkan bagaimana seorang Muslem mengikuti lagu “nDerek Dewi Maria” dapat menari dengan perasaan seninya oleh Kyai Budi Hartono. Sebenarnya banyak hal bisa diupayakan untuk semakin damai hati kita seperti upaya upaya Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) dibanyak tempat seperti di DIY Jateng.

Salah satu cara mendekatkan kehadiran dan hati dari semua pihak yaitu dengan seringnya kita berusaha memahami nilai-nilai bersama atau nilai universal, juga didalam hal yang sangat hakiki, misalnya Arti dan Makna Sembahyang dan Doa, langkah Inkulturisasi (masuknya budaya dalam ibadat agama, atau penggunaan buah budaya dalam ibadat formal agama). Hal itu kerap saya dengar, saksikan pelbagai forum dialog antar umat beda agama. Dialog ini bukan debat mencari siapa yang benar tetapi berbagi bertukar pikiran yang semua dibenarkan untuk dimengerti bukan untuk diimani.

Pemahaman Arti dan Makna Sembahyang dan atau Doa, dan juga praktek Inkulturisasi sebagai nilai dapat dipelajari lebih dalam oleh setiap insan beragama, selain untuk memperdalam keimanan sendiri, juga bermanfaat untuk saling pengertian dan penghargaan satu sama lain tanpa hilangnya jati diri keimanannya sendiri.

Seperti kita ketahui dalam setiap agama ada kaum “bersemangat beragama”, ada kaum “bersemangat bhakti pelayanan social”, ada pula kaum “berpeduli tinggi akan politik” disamping “Para Cuek-cuek aja” dan orang yang mau lari dari kawanan domba.. Mereka masing masing memiliki jiwa atau spiritualitas yang berbeda, dan juga sangat sering didalam hal hukum dan keharusan ibadat memakai kepedulian berbeda sesuai dengan pemahamannya. Maka sama pentingnya pengetahuan dan pemahaman nilai universal perihal praksis beragama baik untuk kemajuan rohani sendiri maupun untuk kerukunan antar umat beragama dan bahkan untuk internal agama sendiri.

Dalam satu agama pun aliran kerohanian ada beberapa yang cara berdoapun berbeda. Dan saran atau petunjuk untuk berdoa biasanya atau selalu diambil dari praksis pendoa atau Sang Guru. Maka bisa jadi istilah yang sama disana diambil dengan nuansa “biru” dilain tempat dan tuntunan diambil dalam nuansa merah jambu…..

Dibawah ini akan saya sajikan beberapa pengertian seputar doa dan sembahyang yang belum tentu semua orang paham, bahkan pun arti harafiahnya saja. Dari makna harafiahnya itu aliran tertentu bisa memberi makna yang sedikit berbeda tetapi juga bisa memperkaya pemahaman. Seperti diberikan oleh Penulis Floriano ximenes dibantu oleh pemahamannya akan bahasa Sansekerta memberi synonym Doa dengan kata prarthana yang artinya memohon dengan sungguh-sungguh. Sehingga memberi pemaknaan: “meminta sesuatu kepada Tuhan YME dengan kerinduan yang intensif.” Itu berarti mencakup rasa hormat, cinta, berkeyakinan dan beriman. Dikatakan : “Melalui sebuah doa, seorang pengabdi/ bhakta mengungkapkan ketidakberdayaan nya dan menyerahkan sikap pelaksanaan dari suatu pekerjaan kepada Tuhan YME.” Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/florianoximenes/ doa_ 55f659995193733305807136

Sementara itu kita boleh memahami masukan dari saudara pemeluk agama Hindu Bali yang menulis : “Sembahyang berasal dari kata sembah dan hyang. Sembah adalah pikiran perilaku yang tulus ikhlas untuk sujud bakti, doa dan memuja, sedangkan hyang berarti mulia, suci, agung dan tehormat. Dengan demikian, sembahyang berarti sikap tulus ikhlas untuk sujud bakti, berdoa dan memuja kepada yang mulia, agung dan suci yaitu Sanghyang Widhi Wasa sebagai sumber segala sumber, Dewa-dewi sebagai sinar suci dan kekuatan Sanghyang Widhi, dan Bethara sebagai kekuatan pelindung hidup manusia” Selengkapnya periksa : https://m.facebook.com/notes/belajar-menjadi-hindu/cara-sembahyang-menurut-hindu/345541362185688/.
Sementara itu juga saya peroleh masukan dari Googling tentang agama Konghucu ini:

“Di dalam agama Khonghucu, bersembahyang diartikan sebagai bentuk komunikasi antara manusia dengan para leluhur, shen ming (roh suci) dan TIAN (Tuhan Yang Maha Esa).(https://id.wikipedia.org/wiki/Sembahyang) Dalam nuansa ini makna sembahyang meliput juga “komunikasi” dengan para leluhur.
Sejalan dengan itu pernah saya sampaikan tentang apa yang disebut Sadranan, yaitu Sadranan sebenarnya berasal dari kata Sadra yang berarti mengakui Tuhan yang hidup dan Tuhannya orang hidup yang telah meninggal dunia. Konon sekali peristiwa Raja Agung Hayam Wuruk di Mojopahit memerintahkan mengadakan upacara besar dan meriah dengan sesaji besar-besaran untuk menghormati para arwah leluhur dan para pahlawan Negara yang sudah ikut membangun kejayaan Mojopahit. Menghormati arwah dengan sesaji kepada Tuhan dan mengakui Tuhan dari orang-orang hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun