Menyimak lini masa sosial media tanah air akhir bulan Oktober lalu, saya tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum kecut. Tak sedikit yang memposting kehebohan mereka menyambut perayaan Halloween. Ya, Anda tak salah dengar, perayaan Halloween sekarang banyak dilakukan di Indonesia, setidaknya di kota-kota besar macam Jakarta.
Mall, pusat perbelanjaan, tempat hiburan, bahkan tak sedikit kantor yang melakukan selebrasi di tanggal 31 Oktober ini. Ikon berupa labu berukir tengkorak, kostum seram bak mahluk alam gaib, hingga dandanan ala zombie dan apapun nan menakutkan menjadi tema yang diusung.
Saya paham bagi banyak orang yang merayakannya, Halloween tak lebih dari sekedar tren dan momen untuk bersenang-senang. Tak pula saya nafikkan bahwa ini semua adalah produk konsumsi yang digunakan pelaku usaha untuk mendorong konsumen merogoh kocek dompetnya.
Namun, tetap saya merasa agak jengah dengan situasi di mana sebuah event diselebrasi tanpa adanya akar budaya yang menyertai. Okelah kalau masih perayaan religius, boleh kita sebut misal pesta diskon kala Lebaran atau Natal. Atau mungkin perayaan Tahun Baru China masih masuk akal dirayakan di tanah air, lha ini Halloween apa hubungannya dengan bangsa kita?
Jika masyarakat Inggris atau mungkin Amerika Serikat merayakan Halloween adalah wajar, karena sejarah dan budaya yang menjadi akarnya memang dari sini. Adalah masyarakat Inggris kuno, khususnya bangsa Irish yang mengawali perayaan Halloween ini jauh sebelum ajaran Kriten masuk ke tanah Britania.
Di masyarakat pagan saat itu, Halloween adalah bagian kepercayaan di mana di saat tertentu, khususnya awal musim dingin, dunia manusia dan alam kematian batasnya tipis, sehingga dipercaya banyak roh jahat yang menyeberang. Untuk mengusir roh jahat, orang-orang mengenakan kostum menyeramkan, membuat api unggun besar dan membawa bara api di dalam wadah turnip--sejenis umbi berbentuk bulat--yang dilubangi dan digunakan sebagai lentera pengusir roh jahat.
Tradisi ini kemudian diadopsi oleh agama Kristen yang masuk ke Inggris dan diberi nama All Hallows' Day guna memperingati para Santo yang tewas sebagai martir agama.Â
Ketika bencana kelaparan melanda Irlandia di abad 17-18, banyak dari mereka berimigrasi ke Amerika Serikat sembari membawa tradisi ini. Karena di sana labu lebih umum didapat, digantilah turnip dengan labu, dan perayaan Halloween kemudian identik dengan labu yang dilubangi serta diukir menyeramkan.Â
Jadi wajar kiranya, kalau masyarakat Inggris, atau Eropa, serta Amerika merayakan festival yang satu ini. Karena memang ada akar budaya di belakangnya. Tapi, kalau Indonesia, saya hanya bisa "geleng-geleng kepala".
Tak ada penjelasan logis akan tren Halloween di tanah air kita, kecuali pengaruh globalisasi serta wujud konsumerisme yang diadopsi secara membabibuta oleh sebagian masyarkat kita, khususnya kelas menengah perkotaan Indonesia.
Hmmm.....tapi ya, terserah lah.