Mohon tunggu...
ali assyadath
ali assyadath Mohon Tunggu... -

Acheh's resident for a life time..a lover of Acheh's culinary..hater of dirrty and filthy politics which ongoing in Acheh recently

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dr. Husaini Hasan: Dari Aceh, Malaysia, hingga ke Swedia

3 Oktober 2013   09:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:04 1866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_292193" align="aligncenter" width="590" caption="Uppsala Universitet tempat Husaini Hasan belajar dan mengambil gelar doktor asing (Sumber: www.uu.se/)"][/caption]

Nama Dr. Husaini Hasan sepertinya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Aceh khususnya di kalangan para eks pejuang Aceh Merdeka (AM) maupun kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Baru-baru inipun ia berkunjung ke Aceh untuk melepas rindu dengan sanak keluarga setelah berpuluh-puluh tahun ia meninggalkan Aceh karena statusnya sebagai seorang militan AM/GAM yang dicari-cari di seluruh negeri oleh aparat Indonesia.

Sebagaimana orang-orang tua di Aceh paham, ia adalah seorang tokoh sekaligus sahabat dekat Alm. Hasan Tiro yang tak kenal lelah berjuang dan menemani Hasan Tiro dengan penuh kesetiaan. Sejak masa-masa perjuangan bersama Hasan Tiro pada akhir tahun 1976 dari hutan ke hutan di Aceh hingga pelariannya ke Malaysia sampai dengan Swedia untuk menghindari kejaran aparat keamanan Indonesia, dalam kondisi tersebut, tidak sekalipun ia pernah meninggalkan Hasan Tiro dan keyakinannya akan perjuangan yang dilakukan bersama sahabatnya itu.

Kisah perjalanan Husaini Hasan tidak dapat dikatakan ringan mengingat statusnya tersebut. Pada awal tahun 1980, dengan menggunakan kapal kecil berukuran 3 X 1 meter dengan hanya 2 buah mesin temple ia berangkat dari Aceh menuju Malaysia untuk menghindari kejaran aparat keamanan Indonesia. Bersama nahkoda kapal, Shaiman Abdullah mereka berdua mengarungi Selat Malaka selama empat hari tida malam tanpa air dan makanan yang layak akibat gelombang laut yang besar bekal makanan yang dibawa dari Aceh hanyut terbawa keganasan ombak Selat Malaka.

[caption id="attachment_292195" align="aligncenter" width="480" caption="Dr. Husaini Hasan (Sumber: http://i1.ytimg.com/vi/OIVCgSGGvqU/hqdefault.jpg?feature=og)"]

1380766586369332894
1380766586369332894
[/caption]

Sesampainya di Malaysia, Husaini bekerja serabutan untuk menyambung hidupnya, dengan bekerja di perkebunan kelapa sawit milik saudagar Malaysia sambil memelihara ternak ayam untuk dapat dijual telurnya. Sementara itu, ia terus berupaya untuk menjalin komunikasi dengan Wali Negara, Hasan Tiro untuk menerima kabar tentang Aceh. Setelah kurang lebih 3 bulan di Malaysia, terdengar kabar Dr. Zubir, rekan sesama pejuang tewas ditembak pasukan ABRI dan lalu disusul Dr. Mukhtar yang bernasib sama.

Setelah lebih kurang 8 bulan Husaini terkatung-katung di Malaysia, mengingat statusnya sebagai pendatang illegal, tanpa paspor, tanpa uang yang cukup juga identitas yang resmi maka keadaan tersebut menjadi sangat berbahaya bagi dirinya apabila tertangkap oleh polisi Diraja Malaysia dan dideportasi ke Indonesia untuk diserahkan aparat ABRI ketika itu. Maka dari itu, Husaini berinisiatif untuk mencari status sebagai political asylum (pencari suaka politik) dan melakukan kontak dengan United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR). Ketika itu, belum ada satupun refugee asal Aceh, dan tak seorang pun teman-teman Husaini yang memberikan saran untuk ke UNHCR, bahkan kepergiannya ke UNHCR ditentang keras oleh Malik Mahmud di Singapura, ia bahkan menulis surat kepada Wali Nanggroe untuk menghalangi upayanya ke UNHCR.

Akhirnya, Husaini mengambil keputusan untuk tetap pergi ke kantor UNHCR dan meminta perlindungan untuk dicarikan negara ketiga, dan tanpa menunggu waktu lama, UNHCR menyetujui permohonan Husaini, mengingat status dan keamanan jiwanya terancam karena dicari di seluruh negeri untuk ditangkap hidup atau mati.

Pada awalnya, Husaini tidak memilih Swedia sebagai negara ketiganya, namun karena pada saat itu, Swedia merupakan negara yang memiliki birokrasi dan proses tercepat dalam menerima refugees, maka ia pun memutuskan untuk pergi ke Swedia, sebagaimana halnya dengan para refugees asal Vietnam maupun daerah lain di Indonesia seperti Papua (OPM).

Sesampainya di Swedia, Husaini sekali lagi diuji kesetiaannya kepada Wali Nanggroe. Dimana meskipun telah terbilang aman dan (mungkin) nyaman, ia menghubungi Hasan Tiro yang ketika itu berada di Afrika. Setelah 4 bulan di Swedia, akhirnya Hasan Tiro datang dan tinggal bersamaHusaini hingga satu tahun lebih di asrama Universitas Uppsala, tempat dimana Husaini belajar bahasa Swedia dan mengambil ujuan doktor asing yang akan bekerja di Swedia.

Dengan bermodalkan beasiswa penuh yang diperoleh dari Pemerintahan Swedia, Husaini menghidupi dirinya sendiri dan Hasan Tiro serta menyusun kembali kekuatan GAM yang sudah sangat kacau ketika itu,. Enam bulan kemudian, Husaini memperoleh pekerjaan sebagai Dokter Radiologi bagian X-ray diagnostic di salah satu Rumah Sakit di Swedia. Sebagaimana diketahui, rata-rata penghasilan masyarakat Swedia adalah antara 25.000 s.d 30.000 Sek (mata uang Swedia: Swedish Krona) atau setara dengan 45 juta rupiah s.d 54 juta rupiah sebulan setelah dipotong oleh pajak. Sebagai Dokter spesialis, Husaini juga memperoleh tambahan biaya sebesar 30% hingga 100% dari penghasilannya tersebut tergantung seberapa sering ia bekerja. Dengan penghasilan dari pekerjaannya tersebut yang terbilang lumayan maka ia dapat membiayai Malik Mahmud ke Swedia disusul oleh Dr. Zaini Abdullah (Gubernur Aceh sekarang), Zakaria Saman (tangan kanan Malik Mahmud), Tengku Jalil Ismail, Syahbuddin, M.Djamil Amin, Syarif Usman dll setahun kemudian.

Melihat perannya yang begitu besar dalam memperjuangkan harkat dan martabat rakyat Aceh hingga rakyat Aceh dapat merasakan perdamaian dan kenikmatan seperti sekarang, maka menjadi hal yang patut disyukuri bahwa figur seperti Dr. Husaini Hasan yang selalu setia pada perjuangan dan niat suci meningkatkan harkat dan martabat rakyat Aceh menjadi bagian dari sejarah kita orang Aceh. Sehingga sangat disayangkan apabila generasi muda Aceh kini dan bahkan yang saat ini duduk di jajaran elit Partai Aceh (PA), DPRA dan Pemerintahan yang kerap ‘mentang-mentang’, ‘sok-sokan’, sombong dengan mengatasnamakan GAM dan merasa paling berjasa. Mereka seharusnya merasa malu bahwa yang telah mereka lakukan sangat jauh dari niat suci perjuangan GAM yang sebenarnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun