Kemarin, setelah lebih dari 20 tahun lamanya, dari kota Makassar saya terbang demi kembali menjejakkan kaki di Pulau Bali. Bukan untuk liburan semata, melainkan demi mendampingi ananda yang diterima di Universitas Udayana Bali kampus terbaik dan terbesar di Pulau Dewata, yang berdiri anggun di atas lahan 160 hektar lebih, dengan suasana hijau khas daerah wisata dengan nuansa budaya Bali yang kental.
Bali dan Makassar sama-sama memiliki laut yang membentang luas, tapi ombaknya berbicara dengan bahasa yang berbeda. Di Bali, pantai-pantainya berpasir halus, tertata rapi, dan menyapa wisatawan dengan senyum ornamen-ornamen tradisional yang memanjakan mata. Di Makassar, lautnya penuh cerita sejarah pelaut Bugis-Makassar, dengan pantai yang kadang liar dan masih menunggu sentuhan tangan yang peduli akan kebersihan dan kejernihannya.
Bali berpenduduk sekitar 4,3 juta jiwa, sedangkan Makassar kota utama Sulawesi Selatan berpenduduk sekitar 1,4 juta jiwa. Perbedaan jumlah ini berbanding lurus dengan suasana kotanya. Bali ramai oleh wisatawan mancanegara dan domestik, sedangkan Makassar ramai oleh pedagang, mahasiswa, dan para perantau yang pulang membawa cerita.
Upah Minimum Regional (UMR) juga punya selisih. Denpasar, Bali menetapkan UMR sekitar Rp3,2 juta per bulan, sedangkan Makassar sedikit lebih tinggi, sekitar Rp3,8 juta per bulan. Namun, di Bali peluang kerja di sektor pariwisata sangat terbuka mulai dari hotel, restoran, hingga pusat hiburan. Bahkan, bagi sebagian orang, lebih mudah mencari pekerjaan di Bali dibandingkan mencari rumah kos yang strategis. Di Makassar, rumah kos relatif mudah ditemukan, namun peluang kerja bergantung pada jaringan, sektor usaha, dan keahlian.
Bali juga memiliki kelebihan bagi pejalan kaki. Jalanan di kawasan pariwisata umumnya nyaman untuk dilalui dengan berjalan kaki, namun sayangnya banyak anjing yang berkeliaran bebas, siap menggonggong sebagai bentuk "sapaan" pada orang yang baru dilihatnya, juga pengendara motor yang bebas menggunakan trotoar. Meski begitu, suasana tetap hidup damai dan menjadi bagian dari dinamika khas Bali seperti suara gamelan yang menyentuh jiwa.
Soal keamanan, Bali punya reputasi yang menenangkan hati. Banyak warga merasa aman meninggalkan motor atau pagar rumah tanpa dikunci karena tingkat kriminalitas yang relatif rendah. Rasa saling percaya antarwarga dan kebiasaan menjaga lingkungan membuat orang merasa tenteram, walaupun kadang terlihat bule berseliweran dengan semangatnya yang berlimpah. Â
Di Bali, sepanjang jalan banyak pura yang berdiri dengan sakralnya, memancarkan kekentalan budaya Bali, menjadi simbol spiritual yang melekat erat dalam kehidupan warganya.Â
Di Makassar, sepanjang jalan banyak masjid yang bertebaran bahkan banyak yang megah seperti masjid 99 kubah di pantai Losari, dan suara azan berkumandang di setiap sudut kota, mengisi udara dengan panggilan yang menenangkan jiwa yang sibuk dengan dunianya yang berlayar kencang.Â
Bali memiliki Tol Mandara, tol paling indah di Indonesia yang membentang di atas lautan, memberikan pemandangan spektakuler bagi para pengendara. Sementara itu, Makassar punya tol layang yang berdiri megah di atas kesibukan kota dari bandara hingga ke pelabuhan, menjadi saksi hiruk pikuk kendaraan dan denyut kehidupan perkotaan dengan senja di pantai Losari.Â
Ketika saya tiba di bandara, kesan pertama dimulai dari Bandara Ngurah Rai Bali. Bandara ini bersih, rapi, dan wangi, dengan pemandangan yang memanjakan mata. Dari kejauhan, bahkan sebelum benar-benar keluar dari area bandara, sudah tampak gagah patung Garuda Wisnu Kencana salah satu patung tertinggi di dunia, berdiri di atas lahan 60 hektar yang dikelola oleh Alam Sutera Group dengan tampilan megah dan anggun di atas bukit, seakan menyambut setiap tamu yang datang dengan takjubnya yang tingginya bahkan melebihi patung Liberty Amerika.Â