Pernahkah kamu melihat anak-anak di perempatan lampu merah membawa gelas plastik kosong bekas air mineral—mengemis meminta uang? Atau pernahkah kamu menemui bocah penjual keripik dan tisu di bahu-bahu jalan? Fenomena ini bukan sekadar potret kemiskinan, melainkan bukti nyata pelanggaran hak anak yang masih terjadi di sekitar kita.
Pengertian Pelanggaran Hak Anak
Pelanggaran hak anak merupakan tindakan yang melanggar dan menyelewengkan hak dasar anak, seperti hak penduduk dan kebebasan sipil, hak pendidikan, dan hak kesehatan. Salah satu akar dari pelanggaran ini adalag problematika sosial yang kompleks, terutama kemiskinan struktural dalam keluarga. Anak-anak menjadi korban yang terlihat dengan dirampasnya kesejahteraan sosial dan terpaksa bekerja serta rela meninggalkan bangku sekolah demi membantu ekonomi keluarga.
Banyaknya Angka Putus Sekolah Penanda Pelanggaran Hak Pendidikan Anak
Berhentinya pendidikan seorang anak berarti belum terpenuhinya hak seorang anak. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran” menjadi maklumat yang mengatur tentang kewajiban dan hak warga negara Indonesia di bidang pendidikan. Namun, realitas sosial berkata lain, masih banyak anak yang putus sekolah dari mulai tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah ke atas.
Menurut laman news.detik.com yang mengambil data dari BPS 2023 menyebutkan bahwa secara hitungan angka, jumlah angka putus sekolah pada jenjang SD sebesar 31.246 anak, jenjang SMP sekitar 105.659 orang, dan 73.388 orang untuk jenjang SMA. Angka-angka tersebut menjadi sinyal dan tamparan keras bahwa masih banyak anak yang kehilangan hak atas pendidikannya.
Untuk menanggulangi permasalahan ini, pemerintah telah meluncurkan berbagai program, seperti,
program Indonesia Pintar melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk anak berusia 6–21 tahun yang lahir dari keluarga miskin, Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dan
program Keluarga Harapan (PKH) untuk yatim piatu, penyandang disabilitas, dan korban bencana alam/musibah.
Namun, dalam realitanya, efektivitas program ini masih belum bisa diandalkan dan dan terhambat oleh persoalan klasik, yakni masalah sinkronisasi data terpadu antara Kemendikbudristek dan Kementerian Sosial dilansir dari laman ombudsman.go.id.