Di era teknologi informasi, batas antara ruang privat dan ruang publik semakin kabur. Media sosial telah menjelma menjadi lanskap sosial baru, di mana identitas, orientasi, dan ekspresi individu memperoleh panggung yang tak lagi tersekat oleh ruang dan waktu. Dalam konteks ini, munculnya grup-grup komunitas LGBT di media sosial, khususnya di Jambi, menjadi salah satu fenomena sosial yang memantik perdebatan publik.
Beberapa hari terakhir, masyarakat Jambi dihebohkan oleh beredarnya tangkapan layar dari grup Facebook yang secara terbuka mewadahi komunitas gay. Konten dalam grup tersebut dinilai tidak hanya vulgar, tapi juga mengganggu sensitivitas moral masyarakat lokal. Dalam merespons fenomena ini, Korwil BEM PTNU Jambi secara terbuka mendesak Polda Jambi untuk mengusut dan menindak tegas admin grup tersebut.
Secara sosiologis, fenomena ini mencerminkan tegangan antara dua arus besar: pertama, arus kebebasan sipil yang menjadikan media sosial sebagai ruang ekspresi identitas; dan kedua, arus nilai-nilai komunal yang menjunjung tinggi norma budaya dan moralitas kolektif. Tegangan ini tidak sederhana. Ia menyimpan persoalan ideologis yang lebih dalam: tentang siapa yang berhak menentukan batas antara ekspresi dan penyimpangan, antara hak individu dan nilai sosial.
Dari kacamata teori komunikasi digital, media sosial memang menyediakan ruang demokratis baru. Namun, sebagaimana dikatakan Jurgen Habermas, ruang publik yang sehat menuntut etika diskursif dan tanggung jawab sosial. Ketika ekspresi personal bersinggungan dengan norma publik dan menciptakan keresahan, maka negara dan masyarakat sipil memiliki legitimasi untuk menegakkan batas moral itu.
Lebih lanjut, negara Pancasila bukan negara sekuler dalam pengertian liberal. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah hiasan konstitusional, melainkan fondasi etis yang memberi arah pada kehidupan berbangsa. Dalam konteks ini, aktivitas-aktivitas yang terang-terangan menabrak nilai moral dan etika sosial tidak bisa serta merta dibela atas nama hak asasi manusia, apalagi jika dilakukan di ruang yang bisa diakses publik secara luas.
Namun demikian, pendekatan terhadap fenomena ini tidak boleh jatuh pada simplifikasi atau stigmatisasi. Penindakan hukum harus dilakukan secara adil dan proporsional, dengan memastikan bahwa negara hadir bukan sebagai alat represi, tapi sebagai penjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Selain itu, penting untuk mengembangkan pendekatan edukatif dan kultural, melalui dakwah digital, literasi media, dan penguatan nilai-nilai lokal dalam kurikulum pendidikan.
BEM PTNU Jambi telah mengambil sikap kritis, dan itu patut diapresiasi. Namun ke depan, gerakan mahasiswa juga harus menjadi aktor reflektif, tidak sekadar reaktif. Tugas kita bukan hanya mengkritik gejala, tapi juga membongkar akar masalah: mengapa komunitas-komunitas ini tumbuh subur di ruang digital? Apakah karena lemahnya fungsi sosial budaya? Apakah karena alienasi sosial yang makin tinggi? Apakah karena krisis keteladanan?
Kita tidak sedang melawan individu, tetapi memperjuangkan tertib sosial. Dan perjuangan itu harus dilakukan dengan akal sehat, nurani bersih, dan keberanian moral. Sebab dalam masyarakat yang tercerahkan, kebebasan bukan hanya hak, tetapi juga tanggung jawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI