Rest area Gunung Gedangan, Mojokerto, dikabarkan "sepi".
Namun, komunitas-komunitas setempat tidak hanya mengkritik---mereka hadir dengan solusi dan berusaha meramaikannya.
Rest area Gunung Gedangan, Mojokerto, dibangun dengan harapan menjadi tempat singgah yang nyaman, sekaligus ruang tumbuh bagi UMKM & kreativitas lokal. Tapi waktu berjalan, dan tempat ini justru "terkesan" sepi. Fasilitas yang ada seolah menunggu, tapi tak kunjung didatangi.
Namun, di tengah kesunyian itu, hadir sekelompok orang yang tidak hanya mengkritik keadaan. Mereka adalah para seniman, pelukis, pegiat seni yang tergabung dalam Komunitas Pelukis Mojokerto Raya. Bagi mereka, sepi bukan alasan untuk berhenti--tapi panggilan untuk bergerak.
Mereka tahu bahwa menunggu pengunjung datang ke tempat yang belum dikenal, adalah perjuangan berat. Maka mereka keluar. Membawa karya, membawa semangat. Menggelar pameran lukisan di Surabaya. Mengadakan on the spot (ots) di ruang-ruang publik. Melukis di taman kota, di alun-alun, bukan untuk pamer, tapi untuk memperkenalkan bahwa Mojokerto punya ruang seni yang hidup.
Semua itu dilakukan bukan hanya untuk menunjukkan karya semata, tapi untuk menjemput pengunjung, untuk menarik perhatian masyarakat agar suatu hari mereka datang, singgah, dan meramaikan kembali Pasar Seni yang selama ini terkesan tertidur.
Ini bukan sekadar soal seni. Ini tentang rasa memiliki terhadap ruang publik. Tentang tanggung jawab komunitas untuk ikut merawat apa yang pernah dibangun. Bahwa revitalisasi tidak harus selalu datang dari pemerintah. Kadang, cukup dari niat tulus dan aksi nyata.
"Kini, suara kuas yang menari di atas kanvas menjadi semacam panggilan.