Mohon tunggu...
Asmari Rahman
Asmari Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Bagansiapi-api 8 Okt 1961

MEMBACA sebanyak mungkin, MENULIS seperlunya

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Semut, Keledai dan Biawak (Dongeng Menjelang Subuh)

9 Mei 2014   08:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah apa pasalnya, tengah malam begini Ujang Lumik mengetuk pintu rumah saya, dan ketika pintu dibuka tanpa mengucapkan salam dia langsung masuk sekaligus minta dibuatkan secangkir kopi. “Alah mak ,  kenaklah aku malam ni,” desis ku dalam hati.

“Aku baru saja pulang dari rumah KH. Bachtiar Ahmad,”  katanya memulai pembicaraan, begitu dia menyebut nama Bachtiar Ahmad, akupun mendengarnya dengan antusias, menanti kata-kata berikutnya keluar dari mulut Ujang, siapa tau ada kabar baik dari sang senior.

“Kami tadi ngumpul dirumah beliau, bercerita panjang lebar tentang berbagai hal, termasuklah soal seorang pemimpin yang baru dilantik itu ,” katanya sambil menyelipkan sebatang rokok dibibirnya. Aku mendengarkannya dengan seksama dan berharap dalam tempo yang sesingkat-singkatnya Ujang bisa meneruskan ceritanya.

“Tapi,”

“Tapi apa ?” potong ku dengan tak sabar.

“Panjang lebar Tuan KH. Bachtiar bercerita, membuat aku menjadi bingung, tak mengerti apa makna ceritanya itu, justeru itulah aku mampir kesini, siapa tau aku bisa mendapat penjelasan.” Ujarnya dengan mimik yang serius.

“Ceritanya tentang apa ?”

“Tentang Semut, Keledai dan Biawak,” jawabnya singkat sambil menyedot asap rokoknya dalam-dalam, setelah itu Ujang Lumikpun menguraikan cerita yang didengarnya dari KH. Bachtiar.

Sekor Semut jika bertemu dengan sesama semut lainnya dia akan berhenti dan bersalaman, begitulah baik budi bahasanya, tetapi Semut bisa bersebunuhan dengan sesama Semut saat berebut makanan itulah yang dituangkan orang dahulu dalam pribahasa “Mati Semut karena sebiji nasi.”

Keledai, hewan ini amatlah dungunya, setinggi apapun sekolahnya dia tidak akan pernah pintar, yang namanya Keledai tetap saja dungu, dungu sedungu-dungunya, sehingga ada orang mengatakan bahwa kaki Keledai akan terantuk berulang kali pada batu yang sama, artinya dia tidak pernah belajar dari kesalahan terdahulu.

Biawak, hewan ini tidak ingin hanyut apa lagi mengikut arus, bila ingin menyeberangi sungai  kepalanya tetap tegak menantang arus, meskipun sering terlambat sampai keseberang namun dia tetap bersikukuh untuk tidak mengikut arus. Itulah Biawak, wajah dan postur tubuhnya mirip dengan buaya, tetapi tidak pernah terdengar kabar memangsa manusia, dia hidup tegar dan tidak ingin membawa dirinya mengikut arus, apatahlagi sampai hanyut.

“Kalau begitu apanya yang kurang jelas ?” Tanyaku.

“Kira-kira, pemimpin kita yang baru dilantik itu seperti apa ya ?” Tanyanya dengan mimik serius.

Pertanyaan Ujang Lumik itu membuat aku terhenyak, aku tak bisa memberikan jawaban. Aku tak mengenal beliau dan tempat kamipun berjauhan, dia berkantor dijantung kota sementara aku disudut dusun tua beternak Ayam. Kami tak pernah bertemu dan kami tak pernah bersinggungan.

Kebingungan Ujang Lumik menular kepadaku, kamipun terlibat diskusi panjang dimalam buta itu, dan diskusi dallam kebingungan itu sampai ada sebuah kesimpulan bahwa Pemimpin yang baru saja dilantik itu akan mengalami nasib yang sama dengan Semut dan Keledai, tetapi tidak akan pernah berani mengangkat kepalanya seperti seekor Biawak.

Diskusipun tamat, disaat fajar subuh membentang diufuk Timur.

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun