Mohon tunggu...
Wahyu NH Aly
Wahyu NH Aly Mohon Tunggu... lainnya -

Wahyu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Benarkah Tuhan Ada?

19 April 2010   17:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Esei:

Wahyu. NH. Al_Aly

Ketika berbicara tentang eksistensi “Tuhan”, seakan berhenti pada suatu keyakinan saja, dengan meniadakan adanya proses bagaimana keyakinan itu lahir. Pun manakala ada yang membela diri bahwasanya seseorang mengenali akan keberadaan “Tuhan” melalui proses, namun tidak sedikit dari mereka dalam memberikan penjelasannya kembali pada kata “yakin” atau “yang jelas yakin”. Tentu bagi sebagian orang, mendengar jawaban yang demikian belumlah cukup, karena belum ada korelasi yang kuat antara “yakin” dengan “Tuhan”. Bila kondisi ini yang menjamur di sekitar kita, sehingga berat menyalahkan seseorang yang pilihannya tiba pada ketidakpercayaannya dengan Tuhan (atheis). Juga terlampau berlebihan, sekiranya ada di antara seseorang yang mempercayai Tuhan, kemudian menghakimi orang atheis sebagai “kafir”. Ini mengingat orang yang atheis belumlah mengenal adanya Tuhan, sehingga mana bisa diklaim bahwasanya mereka mengingkari Tuhan. Pengecualian bagi orang yang telah tahu akan eksistensi Tuhan, namun mereka tidak peduli dan tidak menerima, saya kira itu yang dijuluki “kafir”.
Membicarakan akan Tuhan bukanlah hal baru, sangat klasik dan belum ada habisnya. Polemik ini seolah tiada ujungnya, bahkan sebagaimana yang tertuang dalam sejarah, tidak sedikit perihal perbedaan kepercayaan yang demikian, dalam penyelesaiannya diakhiri dengan banjir darah. Tentu iklim yang seperti itu tidak boleh berlanjut. Karena pada dasarnya, semua kembali kepada pilihan masing-masing orang. Selama itu terbatas pada suatu keputusan untuk dirinya sendiri dengan membawa konsekwensi yang siap ditanggungnya, tanpa merongrong pilihan orang lain, maka tiada hak bagi setiap orang memaksakan kehendak pilihan orang yang berbeda.

Bukti Tuhan Ada.
Manusia dalam menerima atau menolak akan eksistensi Tuhan lahir dari sejauhmana upaya olah pikirnya masing-masing. Dari mereka ada yang berusaha menggunakan kejernihan daya pikirnya, namun juga ada yang menutup realita sehingga pikirannya menjadi jumud dan dalam memahami lebih di dominasi perasaan. Kalangan yang tidak memanfaatkan pikirannya secara jernih tidak akan pernah mampu memandang hakekat kehidupan ini, sehingga dari mereka memunculkan dua kalangan ekstrim; yang pertama adalah, mereka yang meyakini secara membuta tanpa mendayagunakan akal pikirannya. Kalangan yang seperti ini umumnya hanya menaati saja pada agama atau kepercayaan tertentu tanpa mengerti. Kedua yaitu, mereka yang menafikan akan adanya sang pencipta. Orang atau kalangan yang meniadakan tentang Tuhan, mereka lebih mengedepankan sisi-sisi materi sebagai objek kajiannya, namun pendekatannya tidak intens dan tidak integral. Mereka hanya melihat dari sisi “kemungkinan” yang tanpa diikuti kajian ilmiah atau rasional. Mudahnya, mereka mengenalinya hanya melalui praduga an sich.
Memahami Tuhan bukanlah sesuatu yang sulit namun juga tidak mudah, hal ini karena menuntut adanya kejernihan pikiran sekaligus penghayatan (olah pikir) yang mendalam dan meluas. Secara logika manusia, manakala melihat suatu objek pastilah meminta akan asal-muasalnya. Ketika ada suatu benda, akal manusia yang jernih tentu akan bertanya darimana benda tersebut atau siapa yang menciptakannya. Tidak mungkin suatu hal ada dengan sendirinya, karena ini bukanlah asumsi yang logis, melainkan praduga yang tidak mendasar dan sama-sekali tidak rasional mengingat alasan tersebut tanpa ada pendekatan ilmiahnya.

Bagaimana terbentuknya alam? Bagaimana munculnya kehidupan? Adanya alam ini dengan keteraturannya; bagaimana mikrokosmos dan makrokosmos dapat terkendalikan oleh medan gravitasi, medan elektromagnet, gaya kuat dan gaya lemah? Bagaimana peran tumbuhan atas gravitasi dengan potensi tumbuh dan berkembang biaknya? Bagaimana binatang mampu bergerak menurut kemauannya atas dorongan insting (naluri)nya yang dilengkapi pancaindra? Bagaimana manusia mampu memilah, memilih, memiliki kesadaran, dan progress melalui naluri dan nurani (akal plus hati)nya? Kesemuanya hanyalah sebagian kecil dari banyaknya pertanyaan yang tidak boleh dijawab bahwa itu terbentuk oleh sendirinya. Ini bukanlah jawaban yang rasional. Ini bukanlah jawaban logis, melainkan ungkapan ludruk, ndagel, bercanda yang tidak disertai peran akal. Sangat mustahil, adanya kejadian yang luarbiasa ini, sebagaimana perjalanan hidup kita yang penuh lika-liku, penuh hal-hal tak terduga, dan segenap yang melingkupinya seperti tua-muda, kaya-miskin, pintar-bodoh, pria-perempuan, dan seterusnya muncul begitu saja.

Apabila ada kepercayaan bahwasanya alam seraya segenap keteraturannya ini muncul secara otonom, meskipun dalam pemaparannya menggunakan bahasa yang berat dan terkesan ilmiah, namun jawaban itu tidaklah mampu menutupi kenyataan akan ketidaklogisannya. Hal ini melihat jawaban tersebut yang hanya prasangka tanpa ada upaya nalar. Jawaban tersebut juga terkandung usaha untuk menutup progresifitas akal dalam menggapai yang lebih tinggi, melalui pernyataan yang membekukan, “Ada dengan sendirinya.” Jawaban yang terkesan lembut sekaligus meminta akal berhenti untuk memikirkan seluruh kejadian alam, ini sekiranya diterima maka pintu cakrawala logika niscaya tertutup, dan kekerdilan nalar semakin hidup. Melalui tanpa adanya upaya memaksimalisasikan akal, maka tinggalah manusia hidup dalam dominasi pragmatisme, yang mengenyampingkan masa depan guna memenuhi kehidupan sekarangnya. Artinya, jawaban yang demikian bukan saja tidak masuk akal, namun juga sangat membahayakan bagi kelangsungan kehidupan ini apabila dianut.

Sedikit mengulang yang di atas, ketika menyinggung mengenai akal, lagi-lagi juga masuk pada pertanyaan bagaimana kemunculan akal ini? Bagaimana akal bisa bekerja? Tentu tidak mungkin dijawab itu ada dengan sendirinya.
Akal sebagai salahsatu pisau manusia dalam membedah kehidupan mensyaratkan tajam dan senantiasa terasah. Melihat realitas semua yang ada, akal sehat niscaya akan mengatakan bahwasanya semua kejadian yang ada beserta keteraturannya pastilah ada yang membikinnya, dan pembuatnya harus yang maha luar biasa. Simpelnya, yang maha luar biasa itu adalah Tuhan.

Tuhan Seperti Apa?
Setelah mengetahui secara nalar bahwasanya Tuhan itu ada, namun masih ada sebagian orang yang bertanya-tanya Tuhan itu seperti apa. Apakah Tuhan itu berupa patung? Apakah Tuhan berupa lukisan? Apakah Tuhan berupa pohon yang Tinggi? Apakah Tuhan berupa matahari? dan pertanyaan-pertanyaan yang setaraf lainnya.

Tuhan sebagai pencipta, tanpa bermaksud mengurangi akan eksistensi-Nya, secara mudah dianalogikan dengan seorang manusia yang membuat suatu karya, yang tentu hasil kreasinya tidaklah sama dengan yang membuat. Mustahil manusia sama dengan robot ciptaannya, misalnya. Begitujuga sebaliknya, tidaklah mungkin robot mampu membuat manusia yang telah menjadikannya. Dari analogi ini memperjelas, sangatlah absurd ada keserupaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya, yang juga tidak mungkin makhluk-Nya menciptakan Tuhan. Ini menegaskan akan poin kemusykilan Tuhan adalah patung, lukisan, dan seterusnya.

Pun mengingat betapa menarik dan luarbiasanya mekanisme kehidupan ini, dugaan Tuhan adalah matahari jelas telah terbantahkan. Apalagi Tuhan itu pohon yang tinggi, yang mati manakala di tebang oleh manusia atau dalam masa dan kondisi tertentu, sudah musti mustahil.

Membaca kenyataan semua yang ada, baik yang materi maupun yang imateri sebagai ciptaan-Nya, maka jika ada yang mengkhayalkan bahwasanya Tuhan merupakan hasil imajinasi manusia untuk memberikan kekuatan pada dirinya, juga termentahkan karena tidak memiliki kadar rasio. Pendapat tersebut hanyalah hasil angan-angan belaka tanpa ada upaya nalar atau logika. Kembali mengulas, tidak mungkin Tuhan suatu ide (bentuk imaterial dari benda), karena justru Tuhan yang membuat ide. Apalagi penilaian bahwa Tuhan adalah konsep, atau ide yang telah diolah dalam alam pikir manusia, tentunya lebih tidak masuk akal lagi. Maka teranglah mengenai Tuhan itu bukan ide atau konsep, karena justru Tuhanlah yang memiliki ide atau konsep.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun