Mohon tunggu...
Aslamuddin Lasawedy
Aslamuddin Lasawedy Mohon Tunggu... Pemerhati Masalah Ekonomi, Budaya dan Politik

Open minded and easy going

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sulawesi Tengah di Persimpangan Antara Dialektika Budaya, Industri Tambang, dan Pariwisata

6 Agustus 2025   18:01 Diperbarui: 7 Agustus 2025   08:15 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Aslamuddin Lasawedh

Hari ini, Sulawesi Tengah berdiri di tengah pusaran transformasi struktural yang signifikan. Inilah wilayah dengan kekayaan ekologis dan kultural yang luar biasa, yang menghadapi sejumlah paradoks pembangunan. Antara cita-cita mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan keberlanjutan sosial-budaya. Disana ada tarik-menarik antara industri tambang, arus pariwisata, dan warisan budaya lokal yang rentan tersingkir.

Secara geografis, provinsi ini menyimpan potensi luar biasa dibawah tanahnya, seperti nikel, emas, gas, biji besi dan seterusnya. Pun hamparan atol dan taman lautnya di gugusan Kepulauan Togean, serta jejak-jejak budaya megalitikum di Lembah Bada, Besoa, dan Napu. Namun, potensi ini menjadi titik konflik ketika dieksploitasi dalam kerangka kapitalisme ekstraktif yang meminggirkan nilai-nilai kultural lokal. 

Dalam kerangka teori ekonomi-politik global, industri tambang yang berkembang di Sulawesi Tengah—terutama di Morowali—merupakan bagian dari rantai pasok global berbasis logam strategis (terutama nikel dan cobalt untuk baterai kendaraan listrik). Di satu sisi, industri ini membuka lapangan kerja dan menjadi motor pertumbuhan PDRB regional. Namun di sisi lain, ia menghadirkan sejumlah konsekuensi serius. 

Laporan WALHI dan berbagai studi lingkungan menunjukkan degradasi hutan dan pencemaran sungai sebagai akibat langsung dari aktivitas tambang terbuka dan pembangunan smelter.

Perubahan struktur agraria menyebabkan hilangnya akses masyarakat dan petani terhadap tanah dan air. Komunitas-komunitas yang sebelumnya subsisten berubah menjadi buruh temporer tanpa jaminan sosial memadai.

Dalam kacamata sosiologi politik, ekspansi tambang melibatkan aliansi oligarki antara negara dan korporasi besar. Praktis masyarakat lokal hanya menjadi aktor pasif.

Itulah sebabnya membicarakan industri tambang di Sulawesi Tengah bukan hanya dilihat dari sisi aktivitas ekonomi semata. Pun menyangkut pergeseran relasi kekuasaan, makna ruang, dan identitas sosial.

Selain itu, budaya di Sulawesi Tengah yang begitu beragam, yang terwujud dalam sistem kepercayaan lokal, seni pertunjukan, bahasa daerah, serta kearifan ekologi komunitas adat, mengalami proses marginalisasi simbolik. Budaya kini sering kali direduksi sebagai komoditas atau dekorasi dalam konteks pembangunan dan industri pariwisata.

Melalui pendekatan ekologi budaya, kita memahami bahwa budaya bukan sekadar sistem simbol, tetapi juga struktur adaptasi terhadap lingkungan dan sejarah kolektif. Ketika budaya dikomodifikasi tanpa konteks nilai, yang tersisa hanyalah “kulit tanpa isi.” Festival yang diproduksi menjadi tanpa makna. Busana adat yang ditampilkan tanpa pengetahuan. Serta tarian tradisi yang kehilangan ritusnya.

Dampaknya bukan hanya budaya kehilangan simbolnya,  juga kehilangan orientasi hidup kolektif. Komunitas budaya tercerabut dari budaya leluhur, seperti apa yang disebut Anthony Giddens sebagai "disembedding," atau terlepas dari kerangka makna lokal dan mengalami kekosongan simbolik dalam kehidupan modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun