Mohon tunggu...
Askolani Nasution
Askolani Nasution Mohon Tunggu... Seniman - Penulis Lepas

Bekerja sebagai penulis dan budayawan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pulang Kampung dalam Tradisi Mandailing

2 Mei 2020   21:00 Diperbarui: 2 Mei 2020   21:22 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam konteks kebudayaan Mandailing, orang merantau karena ingin mengubah kualitas hidup, terutama karena di kampung tidak lagi menjanjikan mata pencaharian yang layak. Jadi lebih bersifat ekonomis, meskipun bisa juga karena sosial-psikologis.

Banyak metafora yang dikaitkan dengan budaya merantau dalam kebudayaan Mandailing. Secara tradisional, merantau maknanya meninggalkan hal-hal yang indah di kampung, seperti “sopo parpodoman” (gubuk tempat anak-muda tidur bersama-sama), “dongan saparmayaman” (teman sepermainan), atau “dongan na dung saroha na dung tarsolong ni mata” (kekasih). Karena beratnya meninggalkan kampung, lalu ada saja yang pulang sebelum kualitas hidupnya berubah. Karena itu ada istilah merantau “inda pe mambuat jegang, madung mulak.” (pulang sebelum jagung di kebun berbuah).

Tapi ada juga perantau “inda si mulak-mulak” (tidak pernah pulang), songon “pangaranto ni alak Cino.” (seperti orang China merantau). Tipe yang terakhir ini bisa jadi karena latar belakang peristiwa tragis di kampung, sehingga malu kalau pulang kampung, atau karena semua kerabat dekat sudah meninggal. Itu menjadi hal yang pahit bagi kebudayaan Mandailing, karena ia kehilangan “huta”, tak ada tempat kembali. Sebab, ketika orang pulang dari merantau, semua berkumpul di rumah keluarga, makan bersama-sama, tidur bersama-sama, dan saling berbagi cerita tentang masa-masa kecil mereka dulu.

Banyak faktor yang membuat para perantau merasa harus pulang kampung, terutama menjelang lebaran. Terutama karena rindu suasana berkumpul dengan saudara dan orang tua. Kita membayangkan malam lebaran, atau pagi-pagi sebelum berangkat sholat ‘id, semua keluarga saling berkumpul, “paombang amak” (menggelar tikar dari pandan), duduk berkeliling, saling bersalaman dan bercerita tentang tentang kampung mereka dulu, sahabat-sahabat, dan lain-lain.  

Selesai sholat ‘id, semua anggota keluarga berkumpul kembali untuk makan bersama, atau sekedar makan “kue ari rayo” (kue lebaran ala kampung). Pada masa lalu, ketika intensitas ekonomi belum sedinamis sekarang, kue lebarannya hanya sederhana saja: “alame” (dodol yang dibungkus dengan daun pandan), “lomang” (lemang), “kue kambang loyang”, atau “kue sapit”.

Tapi kue yang wajib ada adalah “alame” dan “lomang”. Rasanya lebaran tidak afdol kalau dua penganan terakhir tidak ada dan dibuat sendiri. Kadang-kadang tetangga memang membawakan “alame” dan “lomang”, tapi selalu kesannya tak sempurna. “Na larat mantong iba, hum mangalomang pe inda,” kata mereka. Maksudnya, serasa paling melarat kalau lebaran tak punya “alame” dan “lomang”. Karena itu, para petani, selalu menanam dua tiga petak “eme sipulut” (beras pulut), untuk keperluan menjelang lebaran nanti. Semiskin-miskin keluarga, minimal “lomang” ada, begitu tradisinya.  

Pulang kampung biasanya agak seminggu menjelang lebaran. Tujuannya bukan biar agak lama di kampung, tapi agar sempat “mangalame” atau “mangalomang” bersama. “Mangalame” dilakukan minimal seminggu sebelum lebaran, biar dodolnya agak keras. “Mangalomang” dilakukan sehari menjelang lebaran. Begitu tradisinya. Dan semua anggota keluarga ikut terlibat memasaknya.

Selesai sholat ‘id juga dilakukan dengan “manjalang” (berlebaran) ke rumah keluarga dekat di sekitar kampung. Terutama ke rumah saudara tertua ayah, atau rumah “ompung” (kakek-nenek) yang masih hidup. Tapi yang penting, juga berlebaran ke rumah keluarga ibu sebagai pihak “mora” (orang yang harus dihormati). Tentu sambil membawa “lomang dohot alame”. Jadi bukan ke rumah bos di kantor atau pejabat tertentu seperti yang kecenderungan sekarang, apalagi sambil membawa parcel.

Tapi yang tak kalah penting lagi, laki-laki akan berkumpul di kedai kopi, bercerita banyak hal, terutama kisah-kisah setahun terakhir sejak perantau meninggalkan kampung pada lebaran tahun lalu. Itu akan menjadi hal yang asyik, karena para perantau juga berebut membayar kopi bersama. Dan selalu macam ada kesepakatan, yang paling berhasil yang wajib membayar.

Itu hal yang menyenangkan saya kira. Sekali setahun, apa salahnya menjajani kerabat sekampung. Saya sebut kerabat sekampung, karena dalam komunitas kampung di Mandailing, nyaris semua keluarga saling berhubungan kekerabatan, baik karena hubungan darah (sakahanggi), maupun karena hubungan perkawinan. Tiap orang ada dalam relasi “dalihan na tolu”, sebagai kahanggi, mora, atau anak boru.

Anak-anak yang pulang kampung juga menjadi ruh bagi sebuah keluarga. Orang tua dan saudara akan bergembira, meskipun tak selalu ada “silua” yang dibawa. Bagi sebuah keluarga, berkumpulnya semua anggota keluarga dalam masa lebaran menjadi hal yang sangat istimewa. Selain karena mengulang kembali masa-masa indah, juga kenikmatan yang tiada tara ketika semua makan bersama, lalu bercerita tentang kegembiraan-kegembiraan yang dijalani bersama waktu anak-anak kecil, kelucuan, dan lain-lain. Anak-anak akan termangu begitu mereka mendengar tingkah pola mereka di waktu kecil. Kesusahan jarang diungkapkan, karena diangggap mencederai kegembiraan keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun