Mohon tunggu...
Asita Darusalam
Asita Darusalam Mohon Tunggu... Pelajar dengan aspirasi mengubah Indonesia ke arah yang lebih baik

Seseorang pribadi yang berusaha mengembangkan keterampilan dan kemampuannya menjadi lebih baik lagi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Refleksi dari Tiga Suara Kritis Bangsa

12 Oktober 2025   14:27 Diperbarui: 12 Oktober 2025   14:27 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ulat bulu (Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar)

Ketika negara memilih untuk berdiam di tengah suara rakyat, apa gunanya kedalautan rakyat?

 Membaca tiga artikel yang berbeda dari Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu karya F. Rahardi, Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal dari Tempo, dan Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati karya Budiman Tanuredjo membuat aku semakin sadar bahwa bangsa ini masih dikelilingi oleh banyak persoalan yang belum terselesaikan. Masing-masing artikel berbicara tentang isu yang berbeda dari hal ekologi, hukum, dan moral politik. Namun, ketiganya memiliki benang merah yang sama mengenai keadaan kita yang hidup di tengah masyarakat yang mudah panik, sistem hukum yang lemah, dan elite politik yang kehilangan etika serta kepedulian untuk kepentingan besar rakyat .

Dalam artikel Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu, F. Rahardi dengan cerdas menghubungkan isu sederhana seperti wabah ulat bulu dengan fenomena sosial-politik yang jauh lebih dalam. Ia menunjukkan bagaimana ketakutan masyarakat terhadap hal kecil bisa mencerminkan cara berpikir bangsa yang sering kali reaktif dan tidak rasional. Hal ini menggambarkan bagaimana masyarakat kita masih sering terjebak dalam kepanikan massal tanpa benar-benar memahami akar masalahnya dan terjerumus tersesat dalam isu-isu sepele sedangkan melupakan isu-isu yang lebih besar. Kalau tidak ada tokoh yang bisa membimbing masyarakat berpikir kritis, bangsa ini akan terus takut pada hal-hal kecil sambil menutup mata terhadap persoalan yang penting dan darurat seperti kerusakan lingkungan atau ketidakadilan sosial. Fobia semacam ini bukan hanya tentang ulat, tapi tentang mentalitas yang belum matang dalam menghadapi realitas.

Sementara itu, artikel Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal menyoroti kelemahan hukum di Indonesia yang sering kali tunduk pada kepentingan ekonomi dan politik. Redaksi Tempo menggambarkan secara detil dan obyektif hasil penelitian mereka mengenai kasus pagar laut di Banten. Mereka menemukan berbagai kelalaian dan tumpang tindih dalam sistem pengusutan masalah tersebut yang pada dasarnya berakar pada kepentingan politik elit dan kawanan mereka. Hasil penulisannya menghasilkan sebuah artikel yang tidak hanya menjelaskan sekadar soal bambu yang ditancapkan di laut, tetapi simbol dari lemahnya negara di hadapan kekuasaan modal. 

Artikel ini memperlihatkan dengan jelas bagaimana hukum bisa dijadikan panggung sandiwara, sebuah tempat para pejabat saling lempar tanggung jawab sementara rakyat kecil menjadi korban dan mereka yang benar-benar ingin mengusut tuntas isu yang dihadapi terjebak dalam permainan birokrasi yang tak kala terselesaikan. Soal ketidakadilan ekonomi, soal lemahnya pengawasan, dan soal tumpang tindih kebijakan, semuanya masih sama dan belum banyak berubah. Kalau tidak ada keberanian untuk menegakkan hukum secara jujur, maka hukum hanya akan menjadi topeng yang menutupi kepentingan segelintir orang. Artikel karya Tempo ini bukan hanya sekadar kritik, tetapi juga peringatan keras agar kita tidak membiarkan drama semacam ini terus berulang.

Sedangkan artikel Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati karya Budiman Tanuredjo menghadirkan kritik moral yang mendalam terhadap para wakil rakyat. Ia mengingatkan bahwa sumpah jabatan yang seharusnya menjadi janji luhur sering kali hanya diucapkan tanpa makna. Sebuah janji mulia yang diagungkan hanya untuk diterapkan tanpa ada isinya. Tulisan ini sangat menyentuh karena menggambarkan betapa bangsa ini sedang krisis keteladanan. Para pemimpin lebih sibuk memperjuangkan kepentingan politiknya dan pribadinya daripada memegang teguh amanah rakyat. Kursi yang mereka dapat dari suara rakyat hanya menjadi tempat empuk untuk mereka duduki jauh dari derita yang dialami rakyat. Soal ketidakadilan, soal penegakan hukum yang lumpuh, soal hilangnya moral dan integritas semuanya masih jadi kenyataan pahit. Kalau tidak ada tokoh yang benar-benar punya keteguhan moral, bangsa ini akan terus kehilangan arah. Budiman juga menegaskan bahwa meski elite politik kerap melanggar sumpahnya, rakyat tetap punya peran penting dalam menjaga demokrasi. Masyarakat sipil menjadi kekuatan terakhir yang bisa mengingatkan para pemimpin agar tidak lupa pada janjinya.

Dari ketiga artikel itu, semuanya menggarisbawahi sebuah masalah besar yang hadir di negeri ini, sebuah masalah yang tersurat dalam budaya dan kebiasaan masyarakat kita. Masalah yang kita semua sadari, tetapi tidak berusaha untuk kita kurangi yaitu kesadaran dan tanggung jawab. Masyarakatnya mudah takut, pemerintahnya mudah kompromi, dan elitnya mudah lupa. Memang artikel-artikel ini menunjukkan kelemahan dan kekurangan mereka yang berkuasa. Namun kita harus sadari juga, bahwa sesungguhnya praktik yang sama juga terjadi di lapisan bawah, dari ketua RT, RW, kepala desa, bahkan aksi kita keseharian. Masyarakat kita masih mudah memposisikan kepentingan sendiri dibanding kepentingan bersama, bahkan jika posisi yang kita dapatkan merupakan dari suara rakyat. Budaya kolusi dan nepotisme hadir tidak hanya di pemerintahan, tetapi juga dalam organisasi, kelompok, dan bahkan usaha-usaha ekonomi masyarakat.

Jika tidak ada tokoh-tokoh yang punya energi moral dan keberanian untuk menemukan serta mengurai keruwetan bangsa ini, maka krisis ini akan terus berlanjut tanpa ujung. Soal ketidakadilan ekonomi, soal keteladanan yang hilang, soal lemahnya hukum dan kejujuran, hanya melalui sikap yang tegas yang mampu mengubah budaya Indonesia, barulah perubahan akan sebenarnya terjadi. Tapi di sisi lain, ketiga artikel ini juga memberi harapan. Mereka mengajak pembaca untuk lebih sadar, lebih kritis, dan lebih berani mempertanyakan keadaan, bersikap sebagai orang yang idealis dengan pemahaman keadaan yang realis.

Membaca ketiga artikel ini seperti diajak bercermin pada kenyataan. Bahwa bangsa ini masih jauh dari sempurna, tapi masih punya peluang untuk berubah kalau kita mau berpikir jernih dan bertindak dengan hati nurani. Sebab, perubahan tidak akan datang dari mereka yang lupa pada sumpah dan tanggung jawabnya tetapi dari mereka yang berani menjaga kebenaran ketika banyak orang memilih diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun