Kasus Viral Sebagai Titik Pemicu Aksi Aparat
Belakangan, aktivitas lembaga keamanan negara seolah baru mulai bergerak setelah kasus-kasus tertentu menjadi perhatian luas di media sosial. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendalam dalam masyarakat: apakah tindakan aparat hanya terjadi ketika ada desakan dari publik? Dalam berbagai insiden kekerasan, penipuan, atau tindak kriminal lainnya, banyak laporan yang sebelumnya tidak diperhatikan hingga akhirnya viral dan menarik perhatian publik secara luas.
Kinerja lembaga keamanan negara seharusnya bersifat preventif, bukan reaktif. Jika mereka hanya bertindak karena desakan dari media sosial, maka kepercayaan masyarakat mulai berkurang. Masyarakat pun mulai menilai bahwa tindakan aparat tidak berdasarkan prosedur hukum, melainkan dipicu oleh tekanan dari massa yang viral di dunia maya.
Penegakan Hukum yang Tertunda
Tindakan aparat keamanan negara dianggap terhambat ketika laporan dari masyarakat tidak segera ditanggapi. Contoh kasus seperti kekerasan dalam rumah tangga, perundungan di sekolah, dan penipuan daring seringkali terhenti sebelum mendapatkan perhatian media. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa hukum hanya berfungsi jika diperhatikan oleh pengguna internet, bukan berdasarkan sistem keadilan yang sudah ada.
Apabila aparat hanya menanggapi kasus-kasus yang viral, maka secara otomatis mutu kinerja aparat keamanan negara menjadi menurun. Seolah-olah hukum tidak berpihak pada kebenaran, melainkan pada sejauh mana popularitas permasalahan di dunia maya. Penegakan hukum menjadi bersifat pilih kasih, tergantung pada seberapa trendingnya suatu kasus.
Krisis Kepercayaan Terhadap Lembaga Penegak Hukum
Fenomena di mana petugas keamanan negara menunggu sebuah kasus menjadi viral dapat menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara. Rakyat mulai mempertanyakan integritas dan keseriusan petugas dalam menegakkan keadilan secara adil. Ketidakpuasan dan ketakutan muncul ketika laporan resmi tidak ditanggapi tanpa alasan yang jelas.
Turunnya kualitas kerja aparat keamanan negara dapat berimplikasi jangka panjang. Apabila masyarakat kehilangan kepercayaan pada sistem hukum, maka cenderung muncul keinginan untuk bertindak sendiri atau memanfaatkan media sosial sebagai 'pengadilan alternatif'. Situasi ini jelas berpotensi membahayakan hukum dan stabilitas negara.
BACA JUGA : FOMO naik gunung, hobby baru GEN Z !
Media Sosial Sebagai Alat Desakan Publik
Dalam banyak situasi, aksion aparat keamanan negara dipercepat oleh dorongan publik melalui platform media sosial. Para pengguna internet memiliki kemampuan untuk mengangkat kasus-kasus hingga akhirnya menghimpun aparat untuk bertindak. Kejadian ini menunjukkan bahwa keadilan saat ini berpindah ke ranah digital, bukan lagi di ruang pengadilan atau kantor polisi.
Ketergantungan pada media sosial memperlihatkan lemahnya sistem pengawasan internal serta mekanisme laporan di badan hukum. Jika kinerja aparat keamanan negara benar-benar solid, mereka tidak perlu menunggu agar suatu kasus menjadi "viral" untuk melakukan tindakan. Aparat seharusnya bisa bergerak cepat berdasarkan laporan dan bukti yang ada, bukan hanya berdasarkan apa yang sedang tren.
Ketimpangan Penanganan Kasus
Salah satu konsekuensi negatif dari tindakan aparat keamanan negara yang pilih-pilih adalah ketidakadilan dalam penanganan kasus. Kasus yang melibatkan korban dari orang biasa akan diperlakukan berbeda dibandingkan dengan kasus yang melibatkan tokoh terkenal atau yang viral. Ini menambah rasa ketidakadilan di masyarakat.
Dalam sistem yang ideal, setiap warga negara seharusnya menerima perlakuan yang setara. Jika hanya kasus yang viral yang ditindaklanjuti, maka kualitas kerja aparat keamanan negara tidak mencerminkan prinsip kesetaraan di depan hukum. Sebaliknya, hal ini justru menciptakan peluang untuk praktik diskriminatif dalam penegakan hukum.
Urgensi Reformasi Kinerja Aparat
Melihat keadaan ini, adanya perubahan pada sistem kerja petugas keamanan negara menjadi hal yang sangat diperlukan. Diperlukan penilaian secara menyeluruh mulai dari cara pelaporan, langkah tindak lanjut, hingga keterbukaan dalam menangani kasus-kasus. Pelatihan ulang dan penguatan etika profesi juga krusial agar petugas dapat menjalankan peran mereka dengan cara yang profesional.